Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
‘Anda berhak mendapatkan senyum petugas kami’, itu adalah salah satu slogan yang tertulis di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)dan pembaca tentu dapat menemukan tulisan tersebut selain tulisan pastikan pengisian bahan bakar dimulai dari 0. Tersenyum dan keramahan pelayanan menjadi standar kinerja yang harus ditampilkan petugas SPBU layaknya pekerjaan berorientasi pelayanan (service oriented) lainnya. Pekerjaan berorientasi layanan selain petugas SPBU adalah perawat, kasir, customer service, dokter, dan pekerjaan sejenisnya. Pelanggan harus dilayani dengan baik disertai senyum yang menggambarkan keramahan pegawai. Pertanyaannya apakah pembaca selalu mendapatkan senyuman dari petugas SPBU atau petugas pelayanan yang lainnya? Jawabannya belum tentu. Hal itu juga yang penulis alami ketika mengisi bahan bakar di beberapa SPBU di Surabaya akhir-akhir ini terutama ketika mengisi di pagi hari ataupun di SPBU yang sedang padat. Bahkan terdapat kasus terbaru yang sedang menjadi pemberitaan hangat mengenai kasus Florence Sihombing yang terancam dipenjara karena tidak puas dengan pelayanan sebuah SPBU di Yogyakarta kemudian menuliskannya di media sosial.
Berikut adalah sebuah catatan kecil penulis saat sedang dalam perjalanan menuju kota kecil di Jawa Timur di libur Idul Fitri, penulis mengisi bahan bakar di sebuah SPBU yang lokasinya di pedesaan. Kondisi SPBU sangat ramai karena bersamaan dengan arus mudik sehingga terjadi antrian cukup panjang baik mobil ataupun motor. Setelah giliran mobil penulis mendapatkan giliran pengisian bahan bakar, penulis keluar dari mobil dan tanpa sengaja pintu mobil terkena cone rubber(pembatas antrian) sehingga cone rubbertersebut jatuh. Penulis berpikir, dengan kondisi antrian yang panjang dan cone rubberyang terjatuh, petugas SPBU tersebut tidak akan memasang cone rubberdalam waktu singkat dan pelayanannya juga tidak akan menyenangkan. Pikiran penulis ini muncul karena berdasarkan beberapa kali pengalaman saat di Surabaya.
Namun yang terjadi tidak demikian, petugas SPBU tersebut bahkan sempat mengatakan ‘maaf Pak saya pasang tandanya dulu ya’ sambil tersenyum dan setelah itu baru menjalankan tugasnya mengisi bahan bakar. Saat penulis membayar uang pengisian bahan bakar, petugas tadi juga mengatakan amit Pak (permisi Pak)ketika memberikan uang kembalian dan mengatakan terimakasih hati-hati dalam perjalanan. Saat penulis mengamati petugas tadi sebelum melayani penulis, petugas tadi juga melakukan hal yang sama kepada pelanggan yang lainnya. Konsisten memberikan keramahan dan senyum saat memberikan layanan. Penulis terkesan dengan perilaku petugas SPBU tersebut. Sangat jarang penulis menemukan petugas SPBU di Surabaya melakukannya. Sudah seharusnya petugas atau pekerja yang berorientasi layanan menampilkan perilaku ramah dan wajah dihiasi senyuman sehingga yang dilayani merasa puas.
Pekerjaan berorientasi layanan, menekankan pentingnya perilaku yang ramah, wajah yang dihiasi senyuman, serta kesopanan. Setiap petugas atau pegawai dengan pekerjaan berorientasi layanan harus menampilkan emosi yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan. Hal inilah yang disebut dengan emotional labour. Emotional labourmerupakan konsep yang dikemukakan Arlie Hochschild yang didefinisikan sebagai kemampuan atau kontrol individu untuk menampilkan emosi yang diharapkan atau dibutukan kepada pelanggan ataupun orang lain. Misalnya pelayan restoran harus tersenyum ketika melayani pembeli, petugas customer service harus bersabar dalam mendengarkan keluhan pelanggan, dan sebagainya.
Seringkali kita menemui petugas yang menampilkan muka yang tidak menyenangkan ketika memberikan layanan. Hal ini berarti petugas seperti itu kurang mampu menampilkan emotional labourdalam bekerja. Memang sangat sulit untuk menampilkan keramahan, senyuman, dan perilaku sopan dalam bekerja, namun apabila perilaku-perilaku tersebut memang menjadi tuntutan atau bagian dari proses menjalankan pekerjaan berarti perilaku tersebut harus ditampilkan. Tidak mudah ketika suasana hati sedang negatif misalnya sedang marah kepada anggota keluarga, kemudian harus tersenyum saat melayani pembeli. Lebih sulit lagi apabila sedang jengkel kepada pembeli namun harus melayani dengan senyuman. Terjadi konflik antara emosi yang sebenarnya dirasakan dan perilaku yang harus ditampilkan. Tapi itulah emotional labour, yang menuntut kemampuan individu mengelola dan menampilkan keramahan dan kesopanan dalam bekerja.
Terdapat dua bentuk mengelola emotional labour, yang pertama adalah surface acting, yang seringkali disebut dengan berpura-pura menampilkan emosi yang berbeda. Saat suasana hati sedang negatif, pekerja harus bisa menampilkan wajah yang riang, senyuman, keramahan, dan emosi-emosi yang positif. Surface actingberfokus pada ketidaksesuaian antara emosi sebenarnya dan yang ditampilkan. Kemudian yang kedua adalah deep acting, yaitu berupaya mengelola emosi negatif menjadi benar-benar positif sehingga konsisten antara emosi yang dirasakan dan emosi yang ditampilkan.
Penulis tidak mengetahui apakah senyuman, keramahan, dan kesopanan yang ditampilkan petugas SPBU di pedesaan tersebut termasuk emotional labour surface actingataupun deep acting. Terpenting, penulis merasakan kepuasan saat dilayani petugas SPBU di pedesaan tersebut.
Foto: Ilustrasi