‘Pintu yang Salah’ dalam Pengajaran – Pesan dari Pemenang Leelavati Award fadjar August 25, 2014

‘Pintu yang Salah’ dalam Pengajaran – Pesan dari Pemenang Leelavati Award

oleh: Hazrul Iswadi

Departemen MIPA dan Teknik Industri Ubaya

Penulis mengikuti dua kegiatan penting pada bidang matematika yaitu Mathematics in Emerging Nations: Achievements and Opportunities (MENAO) Symposium pada tanggal 12 Agustus 2014 dan International Congress of Mathematicians (ICM) 2014 dari tanggal 13 s/d 21 Agustus 2014 di Seoul Korea Selatan. Penulis akan tulis beberapa tulisan tentang dua kegiatan penting ini. Salah satu tulisan itu adalah tulisan tentang pengajaran berikut ini.

Selain penghargaan Fields Medal, yang diberikan kepada beberapa jenius matematikawan muda, pada setiap penyelenggaraan ICM juga diberikan beberapa penghargaan lain yaitu: Rolf Nevanlinna Prize, Carl Friedrich Gauss Prize, Chern Medal Award, dan Leelavati Prize. Detil tentang Fields Medal dan para pemenangnya di ICM 2014 Seoul sudah penulis beberkan di tulisan ICM dan Beberapa Tonggak Sejarah di ICM 2014 Seoul pada web Ubaya ini. Rolf Nevanlinna Prize adalah penghargaan yang diberikan kepada matematikawan yang mempunyai kontribusi luar biasa pada aspek matematika dan sistim informasi. Salah satu syarat penerima Rolf Nevanlinna Prize adalah berusia kurang dari 40 tahun pada tanggal 1 Januari pada tahun pelaksanaan ICM. Syarat Rolf Nevanlinna Prize ini sama dengan syarat penerima Fields Medal. Carl Friedrich Gauss Prize (disingkat Gauss Prize) diberikan kepada ilmuwan yang melakukan penelitian matematika yang mempunyai dampak yang besar kepada disiplin di luar matematika seperti teknik, bisnis, atau kehidupan sehari-hari. Chern Medal Award diberikan kepada seseorang yang memiliki konsistensi tinggi dan luar biasa dalam penelitian matematika. Setiap pemenang Chern Medal Award berhak mendominasikan satu atau lebih lembaga untuk memperoleh sejumlah dana penelitian. Sedangkan Leelavati Prize diberikan kepada perorangan atau lembaga yang melakukan kontribusi luar biasa untuk meningkatkan perhatian masyarakat pada matematika sebagai disiplin intelektual dan peranannya yang krusial pada peradaban manusia.

Kecuali Fields Medal yang sudah diberikan sejak tahun 1936 dan Rolf Nevanlinna Prize sejak tahun 1982, ketiga penghargaan yang lain diberikan pertama kali sejak tahun 2010. Rupanya kalangan matematikawan sedunia, dalam hal ini International Mathematics Union (IMU) menyadari bahwa upaya menjadikan matematika langgeng dan berdampak signifikan dalam peradaban manusia dapat tercermin pada pencapaian matematikawan dalam penelitiannya. Upaya matematikawan yang tak kenal lelah dan luar biasa pada bermacam aspek tersebut harus diakui dalam bentuk penghargaan-penghargaan seperti di atas.

Salah satu penghargaan yang diberikan di ICM yang menarik perhatian banyak kalangan adalah Leelavati Prize. Penghargaan ini diberikan pada waktu upacara penutupan berbeda dengan penghargaan lain yang semuanya diberikan di upacara pembukaan. Penghargaan ini dapat diberikan kepada perorangan atau lembaga yang tidak melakukan penelitian matematika asalkan perorangan atau lembaga tersebut melakukan upaya-upaya dalam memberikan kesadaran kepada publik tentang peranan matematika dalam peradaban manusia.

Pemenang Leelavati Prize pada ICM 2014 Seoul adalah Adrian Paenza dari Argentina. Adrian Paenza adalah seorang doktor matematika dan jurnalis. Adrian memberikan kuiah di ICM 2014 Seoul pada tanggal 20 Agustus 2014 dengan judul “The Wrong Door”. Adrian menjelaskan bahwa guru-guru di kelas matematika terkadang salah dalam menuntun muridnya dengan membukakan pintu yang salah untuk para muridnya. Adrian mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita dihadapkan pada masalah dan kemudian kita akan berusaha untuk mendapatkan solusi sedangkan di sekolah kita mendapatkan solusi dan kemudian mencoba untuk menemukan masalah yang kita sendiri tidak tahu bahwa kita telah mempunyainya. Penulis tertarik dengan pernyataan Adrian di atas. Penulis merasa bahwa persoalan tersebut tidak melulu persoalan dalam pengajaran matematika tapi juga pada pengajaran bidang ilmu yang lain.

Cara Adrian dalam mengajarkan matematika kepada anak-anak di media adalah dengan bermain dan mengajak mereka untuk berpartisipasi. Adrian berusaha berkomunikasi dengan anak-anak dalam bahasa mereka dan mengajak mereka untuk mengajukan pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan akan membukakan pintu-pintu pengertian yang merupakan milik mereka sendiri. Pintu-pintu pengertian tersebut adalah pintu-pintu yang benar dan dapat membuat mereka tidak terdampar pada daerah pengertian yang asing bagi mereka.

Penulis bertemu dengan seseorang terhormat, penulis lupa menanyakan namanya ndash; sebut saja Mr. X, di ruang tunggu pesawat di bandara Incheon sewaktu penulis hendak pulang ke Indonesia. Mr. X tersebut mengaku pernah tinggal sebentar di Indonesia, sudah lama meninggalkan Indonesia, dan sekarang tinggal di London. Mr. X ini mengaku adik angkatan, 2 tahun di bawah, dari Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan kita, sewaktu kuliah di Prancis. Mr. X ini menyinggung pengajaran di Indonesia yang banyak menghasilkan orang-orang yang tertinggal alih-alih mencerdaskan semua orang. Beliau mengilustrasikan bahwa jika pada suatu kelas terdapat sepuluh orang dengan tujuh orang berkemampuan lebih dan tiga orang berkemampuan kurang maka pengajaran haruslah berpihak pada yang tiga orang. Alasan beliau adalah jika pengajaran berpihak kepada tiga orang peserta didik yang berkemampuan kurang maka harusnya tujuh orang yang brkemampuan lebih tidak akan tertinggal, sedangkan jika dilakukan sebaliknya maka pengajaran akan menghasilkan tiga orang yang tertinggal.

Sesampai penulis di Indonesia, anak penulis yang sedang belajar di SMP kelas 7 mengatakan bahwa dia dan teman-temannya mengeluhkan tentang tugas yang banyak. Beberapa aktifitas belajar-mengajar di kelas berdasarkan kurikulum 2013 memang melibatkan siswa dengan intensitas tinggi. Siswa diajak untuk menemukan, diskusi, dan presentasi. Tapi seperti yang dikeluhkan oleh seorang kepala sekolah SMP di Sumatera Barat secara lisan dengan penulis bahwa banyak para guru tidak mempunyai keahlian dalam menyelenggarakan diskusi dan presentasi yang efektif sehingga menberikan manfaat bagi para siswa. Bagaimana siswa berperan dalam kelompok diskusi, bagaimana skenario dan dinamika dalam kelompok, dan bagaimana strategi presentasi yang baik adalah beberapa persoalan yang tidak dikuasai oleh guru sehingga kesulitan-kesulitan tersebut merembet menjadi persoalan siswa. Guru merasa bahwa pekerjaannya adalah mendistribusikan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa dan menilai.

Siswa merasa tugas mereka menjadi bertambah dari hanya berusaha mendengarkan dan mengerti materi seperti yang selama ini mereka lakukan di kelas menjadi berusaha untuk mencari sumber pengetahuan (karena diberitahu oleh guru untuk mencari materi di internet), berusaha untuk mendiskusikan dengan teman (karena diberitahu oleh guru bahwa harus didiskusikan), dan berusaha untuk menguasai teknik komunikasi dan presentasi (karena diberitahu guru bahwa hasil diskusi harus dipresentasikan).

Apakah pengajaran kita dengan atau tanpa kurikulum 2013 akan menghasilkan pengajaran yang membukakan pintu yang salah? Atau apakah pengajaran kita akan memperbesar jumlah siswa-siswa yang tertinggal di belakang seperti yang diberitahukan oleh Mr. X? Jawabannya berpulang kepada para pengajar untuk tidak menghasilkan hal-hal tersebut.