Matematika di Negara Berkembang – Peluang dan Tantangan fadjar August 21, 2014

Matematika di Negara Berkembang – Peluang dan Tantangan

oleh: Hazrul Iswadi
Departemen MIPA dan Teknik Industri Ubaya

Penulis mengikuti dua kegiatan penting pada bidang matematika yaitu Mathematics in Emerging Nations: Achievements and Opportunities (MENAO) Symposium pada tanggal 12 Agustus 2014 dan International Congress of Mathematicians (ICM) 2014 dari tanggal 13 s/d 21 Agustus 2014 di Seoul Korea Selatan. Beberapa tulisan tentang dua kegiatan penting ini akan penulis tulis di bawah ini dan di beberapa tulisan yang akan datang.

Pada penyelenggaraan ICM 2014 di Seoul ini International Mathematics Union (IMU) mengadakan simposium khusus yang bernama Mathematics in Emerging Nations: Achievements and Opportunities (MENAO) pada tanggal 12 Agustus 2014, yaitu sehari sebelum pelaksanaan ICM. Penulis berkesempatan hadir pada simposium tersebut dalam kapasitas undangan sebagai pengamat.

Di MENAO dipaparkan berbagai tantangan yang dihadapi negara-negara berkembang dalam mengembangkan matematika, tapi juga dipaparkan kisah sukses dari perorangan atau negara yang berasal dari negara berkembang dan maju dalam mengembangkan matematika di negara berkembang. Sebagian besar aktivitas tersebut diwadahi oleh Commission for Developing Countries (CDC), yaitu sebuah komisi yang berada dibawah naungan IMU.

Salah satu tantangan yang menghambat kemajuan matematika di negara berkembang adalah kurangnya penghargaan yang didapatkan oleh anak-anak muda yang brilian untuk meniti karir di bidang matematika. Kurang populernya matematika, kurangnya dukungan dari rekan atau keluarga, sedikitnya teladan yang menginspirasi dari guru atau dosen, dan keterbatasan dana adalah beberapa masalah yang dihadapi oleh siswa atau mahasiswa yang tertarik belajar matematika.

Teladan dari guru atau dosen dalam mengajarkan matematika dianggap penting untuk meningkatkan gairah dan minat untuk belajar matematika yang pada akhirnya menyuplai matematikawan tangguh dari suatu negara. Pada negara berkembang, persoalan masih sulitnya akses internet, sumber, dan pelatihan bagi para guru menjadikan guru terisolasi secara ide dan kreatifitas. Sedangkan untuk dosen atau peneliti dalam bidang matematika, kurangnya pengalaman, terisolasi secara geografis, tidak tersedia dana yang cukup untuk melakukan riset, masih sedikitnya peneliti-peneliti seminat yang berhimpun dalam grup riset, dan masih sedikitnya jumlah mahasiswa S2 dan S3 merupakan sebagian dari banyak persoalan yang menghambat kemajuan matematika.

Satu poin penting yang digaris bawahi pada simposium ini adalah masih lemahnya level dan kemampuan dari beberapa negara dalam bidang matematika tidak ada kaitannya dengan kurangnya bakat-bakat alami. Semua peserta di MENAO mengamini bahwa bakat-bakat alami dalam bidang matematika kelihatannya tersebar secara acak di seantero negara-negara di dunia ini. ICM 2014 di Seoul ini sudah membuktikannya dengan diberikannya penghargaan Fields Medal ke beberapa matematikawan muda brilian dari negara-negara berkembang seperti India, Iran dan Brasil (lihat tulisan: ICM dan Beberapa Tonggak Sejarah di ICM 2014 Seoul)

Beberapa kisah sukses tentang upaya yang dilakukan oleh perorangan, lembaga, atau negara untuk meningkatkan minat dan kemampuan matematika di negara berkembang dipaparkan juga di MENAO untuk memotivasi setiap orang untuk tidak berhenti berupaya agar matemtika dapat berkembang dengan baik. Salah satu kisah sukses tersebut adalah program The Volunteer Lecturer Program (VLP) yang dilakukan oleh CDC IMU. VLP adalah program untuk mengirin matematikawan senior untuk mengajar kuliah intensif selama 3 atau 4 minggu dalam bidang matematika pada level S1, S2, S3, atau matematikawan muda.
VLP didukung oleh Centre International de Matheacute;matiques Pures et Appliqueacute;es (CIMPA) dari Prancis dan U.S. National Committee on Mathematics. Beberapa program VLP tersebut diadakan di Asia yang dikenal dengan nama CIMPA Schools. Penulis cukup beruntung untuk pernah mengikuti 3 CIMPA School yang diadakan di Bandung, Filipina dan Pakistan yang kesemuanya berkaitan dengan bidang graf teori yang menjadi bidang riset penulis. CIMPA Schools adalah cara cepat untuk menularkan pengetahuan, metoda, atau teknik baru dalam bidang penelitian matematika dari matematikawan senior ke calon matematikawan atau matematikawan muda di negara-negara berkembang.

Kemudian terdapat beberapa program bantuan dan kegiatan voluntir yang diadakan oleh perorangan dan lembaga untuk membantu peningkatan matematika di Afrika. Beragam program bantuan untuk Afrika tersebut memang wajar dilakukan mengingat banyaknya kendala dalam perkembangan matematika di negara-negara Afrika dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain di Asia, Amerika Latin, atau Karibia. Program-program untuk negara-negara Afrika antara lain Mentoring African Reasearch in Mathematics (MARM), The African Mathematics Millennium Science Initiative (AMMSI), dan Africa Mathematics Project. Program-program seperti ini juga ternyata berhasil dalam meningkatkan jumlah dan kualitas peneliti matematika di beberapa negara Afrika seperti Botswana, Cameroon, Kenya, Nigeria, Senegal, Zimbabwe, dan lain-lain. Peneliti matematika yang dibiayai oleh program-program tersebut sekarang menjadi leader dalam mengembangkan penelitian matematika dinegara mereka masing-masing.

Diantara semua pemaparan dan diskusi yang terjadi di MENAO, yang paling menarik perhatian penulis adalah kisah sukses yang diceritakan oleh negara Korea Selatan. KunMo Chung, mantan menteri sains dan teknologi Korea Selatan, memaparkan tentang fase-fase yang dilalui oleh Korea Selatn dalam meningkatkan kapasitas dan daya saing iptek mereka di dunia seperti yang mereka capai saat ini. Beliau menceritakan bahwa pada tahun 1950-an Korea Selatan luluh lantak akibat perang saudara. Mereka memulai semua dari nol dan dalam kondisi memprihatinkan. KunMo Chung menyebutkan Fase Pertama pada tahun 1950-1960-an sebagai fase kebangkitan dari ketiadaan dengan pendidikan, Fase Kedua pada tahun 1970-1980-an sebagai fase perkembangan ekonomi, dan Fase Ketiga pada tahun 1990-2000-an adalah fase perkembangan lanjut ekonomi.

KunMo Chung menekankan bahwa pada ketiga fase di atas, matematika berperan sangat penting. Pada fase pertama, matematika digunakan sebagai landasan untuk mengukur tingkat pendidikan yang harus diraih oleh anak-anak Korea Selatan. Matematika dijadikan sebagai standar kecerdasan, dasar penguasaan ilmu lain, dan logika. Pada fase kedua, matematika dijadikan sebagai pilar kemajuan perekonomian Korea Selatan. Pilihan Korea Selatan untuk mengembangkan industri dan ekonomi yang berbasis high-tech salah satu alasannya adalah bahwa mereka percaya dan yakin bahwa matematika yang mereka bangun dan raih dapat dijadikan modal luar biasa dan menunjang kemajuan ekonomi mereka. Pada fase ketiga, matematika dijadikan sebagai sebagai pintu masuk untuk mempertahankan dan mengembangkan industri mereka secara kreatif dan inovatif. Mereka meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa perkembangan matematika akan seiring dan mendukung dominasi industri high-tech mereka.
Pada tulisan lain penulis akan memaparkan lebih lanjut salah satu langkah Korea Selatan untuk meningkatkan dan mengarahkan kemampuan iptek mereka agar mereka kompetitif dan mendominasi di industri high-tech.

Sumber rujukan:

  1. Anderson, A., dan Clemens, H., IMU Activities in Emerging Nations, Seoul Intelligencer, August 13-21, 2014, Seoul, pp. 34-35.

  2. KunMo Chung, Mathematics, a fundamental pillar of Korean economic development , MENAO, August 12, 2014, Seoul.