Renungan Hari Kemerdekaan : Colonial Mentality fadjar August 19, 2014

Renungan Hari Kemerdekaan : Colonial Mentality

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Tulisan ini terinspirasi oleh pidato Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med. Sc, Ph.D pada pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 31 Oktober 2013 sebagai salah satu bahan renungan peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia, puji syukur kepada Tuhan Maha Esa karena telah memberikan berkah kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kita panjatkan doa kepada para pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan para pahlawan dan berkah Tuhan maka bangsa Indonesia telah berhasil mencapai kemerdekaan. Sejarah perjuangan bangsa mencatat bahwa tidak mudah mencapai kemerdekaan, kemerdekaan diraih melalui perjuangan panjang dengan berbagai bentuk mulai dari perjuangan mendapatkan pendidikan, perjuangan fisik, ataupun jalur diplomasi. Melalui kemerdekaan, bangsa Indonesia bisa sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bangsa Indonesia bisa bebas dan mandiri menentukan nasibnya sendiri, mengatur pemerintahan sendiri, dan memajukan bangsa. Para pejuang, pendiri bangsa, dan pendahulu kita telah mewariskan kemerdekaan kepada kita sebagai generasi penerus dengan mengisi kemerdekaan dengan mencapai cita-cita luhur bangsa.

Bung Karno, proklamator kemerdekaan Indonesia berpidato ‘Aku ingin agar Indonesia dikenal orang. Aku ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Aku ingin menjampaikan kepada dunia bahwa kami bukan bangsa jang pandir seperti orang Belanda berulang-ulang kali mengatakan kepada kami. Bahwa kami bukan lagi Inlander goblok hanya baik untuk diludahi seperi Belanda mengatakan kepada kami berkali-kali. Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas lambing jang berdjalan menjuruk-njuruk dengan memakai sarung dan ikat kepala, merangkak-rangkak seperti jang dikehendaki oleh madjikan-madjikan kolonial di masa jang silam’. Sekarang coba kita renungkan, apakah kita sudah sepenuhnya mampu menunjukkan kepada dunia bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar? Belum sepenuhnya jawabnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa bangsa kita belum mampu mengisi kemerdekaan sesuai dengan pidato Bung Karno tersebut. Salah satu contohnya, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya akan sumber daya alam, hingga Koes Ploes menekankannya dalam sebuah lagu berlirik ‘Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman’, namun mengapa bangsa kita tetap termasuk negara miskin, belum terjadi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Kemudian contoh berikutnya adalah daya saing sumber daya manusia yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia yang lainnya. Mengapa demikian, salah satu penyebabnya masih adanya colonial mentality yang kita miliki meski kita sudah merdeka secara fisik dari bentuk penjajahan bangsa lain.

Bangsa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun, kemudian masih ditambah penjajahan Jepang selama 3,5 tahun. Dengan masa penjajahan yang sangat lama, maka telah terdapat beberapa generasi yang memiliki mindset yang sama akibat penjajahan. Penjajah Belanda dan Jepang selalu menekankan mentalitas yang rendah yaitu colonial mentality. Colonial mentality, seperti inferiority complex yang selalu merasa sebagai bangsa yang rendah dihadapan bangsa lain terutama bangsa-bangsa Barat, pasif, tidak proaktif, tidak berinisiatif, mudah terpecah belah, mudah menyerah, menilai usaha tidak akan berhasil, merasa harus ditolong dan dibantu baru akan merasa mampu, dan bodoh. Colonial mentality telah diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui internalisasi sehingga menjadi mindset yang kuat.

Kita mengenal adanya physiological remodelling dan neurological remodelling, namun juga ada mindset atau psyhological remodelling. Artinya mindset yang dimiliki dalam jangka waktu yang relatif lama akan memiliki sifat yang diturunkan. Colonial mentality yang dimiliki terinternalisasi secara kuat karena diturunkan dari generasi sebelumnya dan muncul secara otomatis dan tidak mudah dikontrol kesadaran. Bagaimana cara memutus mindset colonial mentality sehingga tidak terus diturunkan menjadi mata rantai dari satu generasi ke generasi berikutnya? Memang tidak mudah secara cepat merubahnya, karena mindset colonial mentality telah tertanam selama 350 tahun plus 3,5 tahun, namun selepas masa penjajahan kita dapat merubah mindset tersebut. Kuncinya adalah mencoba melihat kebesaran masa lalu dan melihat sisi-sisi positif keberhasilan yang telah dicapai bangsa Indonesia selama mengisi kemerdekaan.

Masa lalu bangsa Indonesia sebelum masa penjajahan bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang disegani negara-negara lain. Coba kita tengok masa kebesaran kerajaan Sriwijaya, kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Singhasari, hingga puncaknya kerajaan Majapahit. Melihat masa lalu sebelum masa penjajahan bukan bertujuan untuk selalu terbuai dengan mimpi kebesaran masa lalu, namun untuk menunjukkan bahwa kita pernah bisa menjadi bangsa yang besar. Bagaimana kebesaran masa tersebut diperoleh melalui kerja keras, tidak merasa inferior dibandingkan bangsa lain, mau berusaha tidak pasif, mengeksplorasi potensi-potensi yang dimiliki untuk dikembangkan, dan menunjukkan potensi-potensi tersebut. Kemudian, pada masa pasca kemerdekaan, coba kita lihat sejarah bangsa kita, terdapat dua cermin peristiwa-peristiwa positif dan negatif sebagai pembelejaran sebuah bangsa yang merdeka. Apakah bangsa kita tidak pernah meraih prestasi-prestasi positif yang dapat mengharumkan nama bangsa Indonesia di kancah dunia yang menunjukkan potensi bangsa Indonesia? Banyak prestasi yang sudah pernah ditunjukkan bangsa Indonesia, mulai dari bidang olahraga, pendidikan, ekonomi, dan bidang lain.

Terdapat karya anak-anak bangsa yang pernah dikreasi sebagai wujud potensi kreativitas. Seperti penciptaan prototype mobil listrik, sumber energi alternatifterbarukan, karya seni kontemporer, desain-desain grafis, aplikasi komputer, dan sejenisnya. Memang ada masa surutnya, naik dan turun prestasi tersebut, namun kita sebagai bangsa Indonesia patut mengapresiasi, bersyukur, dan bangga dengan yang telah dicapai. Bukan malah merendahkan karena tidak akan mampu seperti bangsa lain, pesimis kualitasnya tidak akan bagus, bahkan melakukan atribusi eksternal bahwa prestasi-prestasi tersebut sebagai wujud kebetulan saja terjadi. Jadikan keberhasilan atau prestasi yang telah dicapai sebagai modal terus bersemangat dalam berkarya. Kita harus tetap bekerja keras dan tidak bisa segera merasa puas dengan yang telah tercapai. Karena mimpi mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar, mimpi menunjukkan rupa orang Indonesia kepada dunia setara dengan bangsa lain belum sepenuhnya terwujud. Merdeka!.