Bantu Terapi Autis, Mahasiswa Ubaya Ciptakan Multimedia Interaktif fadjar July 16, 2014

Bantu Terapi Autis, Mahasiswa Ubaya Ciptakan Multimedia Interaktif

KBRN, Surabaya : Mahasiswi Program Studi Multimedia Jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Surabaya, Devi Oktaviani Effendy, membuat aplikasi berbentuk multimedia interaktif sebagai media terapi untuk anak autis berusia 5 tahun ke atas.

Berawal dari keprihatinannya terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Devi tergerak untuk membantu para ABK kemudian merumuskannya ke dalam sebuah aplikasi melalui Tugas Akhir S1 yang berjudul ‘Multimedia Interaktif sebagai Terapi Visual, Bermain, dan Musik untuk Autisme’.
Berdasarkan studi literatur dan interview yang dilakukannya dengan seroang terapis dari Alejo Academy Surabaya, Devi memperoleh informasi mengenai bagian dalam terapi yang dapat dimultimediakan, metode terapi yang sesuai, dan hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pembuatannya.
Pilihan akhirnya jatuh pada pembuatan aplikasi bagi anak autis berjudul ‘AKU BISA’. Program ini dibuat berdasarkan pertimbangan terhadap keterbatasan terapi yang umumnya harus dilakukan di tempat terapi, membutuhkan biaya yang relatif mahal, dan keberadaan media terapi berbentuk aplikasi yang masih menggunakan bahasa Inggris.
‘Media terapi ini dirancang agar orangtua dapat mendukung proses terapi anaknya secara mudah dan murah di rumah. Apalagi menurut penelitian, peran orangtua dalam terapi terbukti lebih efektif dalam perkembangan anak autis dibanding peran guru maupun terapis,’ ujar Devi, Selasa (15/7/2014).
Karya yang diperuntukkan bagi anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan komunikasi, interaksi sosial, konsentrasi, motorik, perilaku, pola bermain, emosi, dan aktivitas imajinasi ini didesain dengan memperhatikan kebutuhan dan keterbatasannya sebagai pengguna.
Warna, bentuk, tipografi, dan suara menjadi elemen penting yang wajib diperhatikan selama pembuatan aplikasi. Agar semakin membantu, tersedia narasi suara yang selalu muncul ketika ada informasi yang perlu disampaikan di setiap tampilannya. Tema ‘Rumah’ yang diterapkan dalam aplikasi ini juga dinilai penting, karena rumah merupakan lingkungan yang paling dekat dan perlu dikuasai oleh anak autis sebelum mereka meluaskan interaksinya di luar.
‘Software yang dibuat Devi ini sangat baik ditinjau dari aspek desain, interaktifitas maupun metode terapi yang dipakai dalam software itu sendiri. Harapan saya, software ini bisa digunakan sebagai salah satu alat bantu terapi bagi anak autis yang dapat digunakan di rumah maupun di tempat terapi,’ ungkap Lisana, S.Kom., M.Inf.Tech selaku Dosen Pembimbing II.
Program multimedia karya Devi ini memiliki tiga menu utama yang terangkai dalam satu media yaitu aktivitas, permainan, dan musik. Aktivitas dalam aplikasi ini meliputi kegiatan sehari-hari yaitu mandi, buang air, gosok gigi, makan, tidur, dan berpakaian. Menu ini berfungsi untuk melatih anak autis belajar mandiri dan patuh terhadap instruksi. Sementara menu permainan meliputi angka, bentuk, ekspresi, puzzle, dan konsentrasi.
Dalam menu permainan, disertai juga tutorial yang memberi informasi pengenalan setiap obyek sebelum anak autis melakukan permainan. Sedangkan menu musik terdiri atas irama riang dan tenang yang menjadi terapi musik untuk mengiringi aktivitas-aktivitas anak autis, baik selama menggunakan aplikasi ini, maupun ketika melakukan aktivitas lain.
Multimedia interkatif ini telah diuji cobakan kepada tiga kelompok responden. Ketiganya adalah para terapis di tiga tempat terapi di Surabaya (Gembira Ria, AGCA, dan Cakra Autism), dua orangtua anak autis, dan dua anak autis yang didampingi orangtuanya.
Hasil menunjukkan bahwa aplikasi ini telah tervalidasi sebagai media terapi tambahan baik di rumah dan di tempat terapi, sambil dilakukan pengembangan lebih lanjut terkait pengembangan materi dan karakter secara lebih mendetil ke depannya. (Anik/HF)
Sumber: https://www.rri.co.id/
Terapi Anak Autis Berbasis Multimedia
Ada Enam Permainan dan Panduan Berpakaian
SURYA Online, SURABAYA – Anak autis cenderung tidak bisa diam dan sulit konsentrasi. Berbagai terapi dilakukan. Salah satunya terapi berbasis multimedia yang diciptakan Devi Oktaviani Effendy, mahasiswa Multimedia, Jurusan Teknik Informatika, Universitas Surabaya.
Jason Marcellino tampak asik dengan laptopnya. Bocah enam tahun ini serius memainkan puzzle. Teriakan riang disertai tepuk tangan sesekali dilakukan ketika dia berhasil menyelesaikan puzzle. Hal itu diulangi berkali-kali hingga semua puzzle diselesaikan.
”Dia memang paling suka main puzzle, jadi suka diulang-ulang,”kata Yolanda Siau, sang ibu.
Puzzle yang dimainkan Jason adalah satu dari enam permainan yang ada di aplikasi multimedia interaktif yang diciptakan Devi Oktaviani Effendy, mahasiswa Multimedia, Jurusan Teknik Informatika, Universits Surabaya. Selain puzzle, ada juga permainan angka, warna, bentuk, ekspresi dan konsentrasi.
Permainan-permainan ini sengaja diciptakan sebagai media terapi untuk anak autis seperti Jason.
”Memang permainannya mirip untuk anak normal, tetapi ini dilengkapi dengan narasi suara karena memang sebagian anak autis belum lancar membaca,”terang Devi saat ditemui di kampusnya, Selasa (15/7/2014).
Selain berisi permainan, aplikasi yang dibuat selama setahun ini juga berisi terapi musik dan visual. Di terapi musik, dia menyediakan dua genre yakni tenang dan riang. Terapi ini bisa untuk relaksasi.
”Biasanya anak-anak autis sebelum memulai aktivitas didengarkan musik selama 10 hingga 20 menit,”terang mahasiswa berkulit putih.
Sementara untuk terapi visual diwujudkannya dengan warna-warna cerah di permainannya. Program ini juga berisi panduan aktivitas sehari-hari seperti mandi, buang air, gosok gigi, makan, tidur dan berpakian.
Di setiap selesai melakukan aktivitasnya, di atas layar akan diberikan tanda bintang sebagai sebuah reward sebelum masuk ke langkah berikutnya.
”Aktivitas ini bertujuan mengajarkan perilaku sehari-hari. Sebab kalau hanya dengan omongan tanpa contoh visual biasanya sulit ditangkap,”katanya.
Aplikasi yang dibuat untuk anak usia lima tahun ke atas ini muncul dari perhatiannya terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
”Kebetulan di keluarga saya ada yng menderita Cerebral Patsy. Tetapi setelah saya konsultasi ternyata mereka lebih membutuhkan terapi fisik. Dan saya dapat masukan dari psikolog kalau untuk terapi multimedia ini bisa dipakai anak auits. Jadi saya mulai belajar tentang autis,”akunya.
Diakui Devi, untuk membuat aplikasi ini dia sempat kesulitan karena basic pendidikannya multimedia. Untuk itu dia berguru dengan seorang terapis dari Alejo Academy Surabaya untuk mengetahui bagian dalam terapi yang dapat dimultimediakan serta metode terapi yang sesuai serta hal-hal yang diperlu diperhatikan.
”Di sini saya memakai metode Applied Behavioral Analysis yang memiliki keunggulan kurikulum terstruktur dan penilaiannya obyektif,”katanya. Diakui Devi, selama ini program terapi autis memang sudah ada, tetapi formatnya dibuat terpisah-pisah. Sementara aplikasi miliknya ketioga macam terapi yakni musik, permainan dan visual dijadikan satu.
Sebelum diujikan ke anak autis, aplikasi ini lebih dulu dicobakan ke terapis. Dia mengambil terapis dari tiga tempat yakni Gembira Ria, AGCA dan Cakra Autist. Setelah itu dia ujikan ke orangtua serta anak autis sendiri.
“Dari responden terapis saya nmendapat masukan agar menambah aktivitas secara detail terutama untuk pengembangan karakter seperti bersalaman atau menyapa. Sementara dari orangtua menginginkan agar permainan ini dibuatr level mulai dari beginnerm intermediete dan advance,”katanya.
Diakui Devi, aplikasi buatannya ini memiliki keunggulan karena menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini mempermudah anak-anak autis yang memang belum dikenalkan dengan bahasa inggris.
Yolanda Siau mengakui aplikasi ini cukup membantu terapi anaknya. “Lihat dia bisa diam, duduk dan memainkan aplikasi itu dalam waktu lama. Padahal sebelumnya duduk sebentar sudah ingin bergerak lagi,”terang Yolanda sambil menunjuk Jason yang ada di depannya.
Diakui Yolanda perkembangan Jason sejak diberikan terapi cukup pesat. Saat ini Jason layaknya bocah normal. Jason sudah bisa berkonsentrasi dan belajar tenang. “Cuma perlu komunikasi dua arah yang lebih intens,”katanya.
Sumber: https://surabaya.tribunnews.com/