Ecosan, Konsep Sanitasi Dikembangkan Ubaya Training Center fadjar June 3, 2014

Ecosan, Konsep Sanitasi Dikembangkan Ubaya Training Center

SURYA Online, SURABAYA – Sanitasi Ekologis atau Ecological Sanitation (Ecosan) selama ini banyak dikembangkan di Eropa dan Afrika. Konsep sanitasi yang menghilangkan patogen dari limbah buangan manusia dan memulihkan nutriennya ini sulit dikembangkan di Indonesia yang masih menggantungkan air. Tetapi kesulitan itu dijawab Universitas Surabaya yang sukses menerapkan Ecosan di kampus III atau Ubaya Training Center (UTC).

Udara segar langsung terasa saat memasuki kawasan Ubaya Training Center yang terletak di Desa Tamiajeng, Trawas, Mojokerto. Area seluas 36 hektar itu tak hanya menawarkan sarana rekreasi yang sejuk, tetapi juga memberikan pembelajaran luar ruang yang berfokus pada alam, pengelolaan, dan pemanfaatannya secara efektif dan maksimal. Hal itu dapat dilihat dari berbagai fasilitas seperti kolam konservasi air, outbound area, camping ground, pendopo, rumah kompos, kebun buah dan taman koleksi toga.

Tak kalah menarik untuk diamati adalah arsitektur bangunan yang sebagian besar menyerupai rumah panggung dengan bagian bawah yang dibuat terbuka.

Arsitektur ini tak hanya bertujuan untuk menambah nilai estetika, tetapi memiliki tujuan ekologis. Area bawah itu, dibuat sebagai tempat pengolahan limbah buangan dari toilet yang merupakan bagian dari konsep sanitasi ekologis (Ecosan).

Di tempat itu terdapat enam tangki besar yang terbuat dari fiber. Dua tangki dipakai untuk menampung buangan urin dari toilet, sementara empat tangki yang ukurannya lebih kecil untuk menampung buangan feces (tinja).

Untuk bisa masuk ke tangki itu, limbah buangan terlebih dahulu harus dipisahkan antara limbah cair dan padat. Karena itulah kloset yang dipakai di UTC ini berbeda dengan kebanyakan. Di bagian depan saluran pembuangan diberi lubang kecil-kecil yang bisa menampung urin untuk kemudian dialirkan di dua tangki di bawahnya. Sementara lubang pembuangan limbah padat laiknya kloset kebanyakan yang juga langsung dialirkan ke tangki di bawahnya. Di tangki inilah limbah cair dan limbah padat yang sudah dipisah itu diolah.

Khoirul Anam, Plan Development UTC, mengatakan untuk mengolah limbah buangan ini tidak mudah, terutama untuk padatannya. Hal itu beralasan karena kebiasaan masyarakat Indonesia yang banyak menggunakan air saat buang air besar atau kecil. Akibatnya, limbah cair dan padat itu tercampur air sehingga lolos dari saringan yang ada di tangki.

‘Ini berbeda dengan masyarakat Amerika yang lebih menggunakan tisu atau masyarakat Afrika yang memang kesulitan air. Di sana limbah mudah diolah tanpa kesulitan memisahkannya dengan air,’kata Anam yang ikut mendampingi Surya Oniline melihat kondisi sanitasi bersama Marketing and Public Relations Ubaya Hayuning Purnama serta Supervisor Operasional UTC Totok Ilham.

Untuk menahan kotoran agar mengendap di atas saringan, Anam melakukan sejumlah uji coba. Diantaranya dengan melapisi saringan dengan kain sifon. Tetapi cara itu tidak efektif karena kotoran masih lolos keluar saringan. Anam pun mencoba denagn memakai busa atau penyaring lain. Tetapi tetap tidak berhasil.

‘Terakhir saya menggunakan kain sablon yang lebih keras, dan ternyata berhasil,’katanya.
Kotoran yang terendap itu dibiarkan selama enam bulan tanpa diberikan bahan kimia apapun karena memang nantinya hasil dari pengolahan ini digunakan sebagai pupuk organik yang harus bebas dari bahan kimia.

‘Untuk menghindari masuknya bahan kimia, kami bahkan tidak memakai cairan pembersih pada klosetnya. Kalaupun kondisinya sangat kotor kami pilih memakai sabun mandi yang kandungan bahan kimianya rendah,’ terangnya.

Kotoran yang sudah terendap itu dibiarkan selama enam bulan untuk menghilangkan patogennya. Setelah enam bulan kotoran tidak lagi berbau dan menyerupai tanah yang siap dipakai sebagai pupuk organik.

‘Sebenarnya untuk mempercepat proses penguraian ini bisa saja ditambahai EM4 (Efektif Mikroorganisme 4) atau cacing tanah. Tetapi ini belum kami lakukan,’terangnya.

Sementara untuk pengolahan urin, Anam hanya membiarkannya selama tiga bulan untuk menghilangkan patogennya. Urin yang sudah terurai itu tidak lagi berbau serta kaya unsur nitrogen.

Urin hasil pengolahan ini banyak dimanfaatkan untuk memupuk tanaman sawi serta sayuran lain yang sengaja ditanam di kiri-kanan cottage.

Diakui Anam, pupuk urin hasil pengolahan ini kandungan nitrogennya memang masih rendah dibandingkan pupuk urea karena urin yang masuk sudah tercampur dengan air saat penyiraman kloset.

‘Jika dibandingkan 10 liter urin sama dengan 150 gram urea. Karena itu lebih cocok untuk tanaman usia pendek seperti sawi. Ini masih terus diteliti oleh tim dari Ubaya,’katanya.

Diakui Anam, Ecosan model basah yang diterapkan di UTC ini baru pertamakali ada di Indonesia. Karena belum umum dilakukan, pihaknya harus mengeluarkan biaya besar terutama untuk membuat perangkatnya.

Dia mencontohkan untuk kloset yang didesain dua saluran ini, karena belum diproduksi pabrikan, pihaknya terpaksa harus mendesain sendiri dan memesannya di sebuah pabrik.
Begitu juga tangki besar yang dibuat dari fiber yang dipesannya dari pabrik khusus.

Mengapa sampai begitu serius menerapkan konsep Ecosan ini? Menurut Anam Ubayamemang sangat konsen untuk menerapkan konsep lingkungan di kampusnya sejak UTC ini dibangun tahun 2008 silam.

‘Kenapa Ecosan? Karena makanan yang dikonsumsi manusia itu memiliki kandungan nutrisi yang sangat bagus. Sayang sekali kalau dibuang percuma tanpa dimanfaatkan,’tandasnya.

Penulis: Musahadah
Editor: Parmin
Sumber: https://surabaya.tribunnews.com