Resiliensi Korban Bencana fadjar May 20, 2014

Resiliensi Korban Bencana

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Disaster psychology adalah aplikasi ilmu psikologi dalam bidang kebencanaan. Bencana terbagi atas 3 bentuk, yaitu bencana alam (natural disaster), bencana non alam, dan bencana sosial. Contoh dari bencana alam adalah gunung meletus, banjir, angin, gempa bumi, tsunami, dan beberapa bentuk lain yang disebabkan alam. Bencana non alam adalah bencana yang disebabkan oleh wabah penyakit, dampak dari kegagalan suatu teknologi misalnya paparan radiasi nuklir. Sedangkan contoh dari bencana sosial adalah perang, konflik antar etnis, dan sejenisnya. Pada setiap bentuk bencana terdapat tahapan bencana, yaitu fase heroic, fase honeymoon, fase dissilusionment, dan fase rekonstruksi.

Sedikit mengulas kembali fase bencana, fase heroic adalah fase setelah terjadinya bencana, ketika berita tentang bencana tersebar, banyak pihak memberikan kepedulian dan membantu terhadap korban bencana. Fase heroic diikuti dengan fase honeymoon, karena banyaknya pihak yang membantu maka korban merasa nyaman dan hidupnya terasa lebih ringan pada fase pasca bencana. Namun, kondisi tersebut tidak seterusnya dialami korban, karena dalam jangka waktu tertentu, bantuan yang semula mengalir mulai berkurang. Korban bencana mulai mengalami fase dissilusionment, korban mulai merasakan tidak mudah kembali ke kondisi semula sebelum mengalami bencana. Fase kritis untuk korban agar dapat kembali hidup dengan baik seperti sebelum mengalami bencana disebut fase rekonstruksi. Kemampuan untuk kembali seperti kondisi sebelum mengalami bencana merupakan konsep resiliensi (daya lenting).

Terdapat beberapa teori yang membahas tentang kuat lemahnya kemampuan resiliensi. Pertama challenge theory, teori ini mengemukakan kemampuan resiliensi ditentukan besar kecilnya paparan dari bencana. Apabila bencana yang dialami sangat berat, maka kemampuan resiliensi yang dibutuhkan juga semakin besar karena membutuhkan usaha yang lebih besar untuk dapat kembali ke kondisi sebelum mengalami bencana. Sebaliknya makin kecil paparan atau tingkat bencana, dampaknya makin kecil dan usaha untuk kembali ke kondisi awal sebelum bencana tidak terlalu berat.

Kedua, cummulative effect model, teori ini menyatakan kemampuan resiliensi ditentukan pada ketersediaan sumber daya pendukung. Apabila tersedia sumber daya pendukung seperti adanya dukungan sosial, ketersediaan penanganan fisik, atau kebutuhan-kebutuhan penunjang yang lain, maka akan membantu korban bencana kembali ke kondisi awal sebelum mengalami bencana. Sebaliknya apabila sumber daya pendukung sangat minim, akan menyebabkan korban bencana sulit kembali ke kondisi awal sebelum bencana. Ketiga adalah teori interaction yang menyatakan kemampuan resiliensi ditentukan faktor berat ringannya bencana yang dialami dan ketersediaan sumber daya pendukung untuk kembali ke kondisi awal sebelum bencana. Apabila bencana yang dialami ringan atau berat, namun tidak tersedia sumber daya pendukung yang memadai, maka resiliensi akan sulit dicapai. Sebaliknya apabila bencana yang dialami berat atau ringan, namun terdapat sumber daya yang memadai, kemampuan resiliensi akan semakin cepat tercapai.

Resiliensi merupakan hal yang penting bagi korban bencana untuk dapat hidup kembali seperti sebelum mengalami bencana. Bencana, baik alam, non alam, dan sosial sulit untuk diprediksi kapan terjadinya karena bencana sewaktu-waktu dapat terjadi. Namun hal yang dapat dipersiapkan adalah ketersediaan sumber daya pendukung resiliensi. Sudahkan kita mempersiapkan sumber daya pendukung resiliensi baik sebagai individu dan komunitas? Mari kita mencari dan mempersiapkan sumber daya pendukung yang sesuai dengan karakteristik diri, komunitas, dan kemungkinan bencana yang dapat kita alami. Semoga tulisan ini bermanfaat.