Refleksi Kembali : Masih Ramahkah Bangsaku? fadjar April 28, 2014

Refleksi Kembali : Masih Ramahkah Bangsaku?

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Masih ramahkah bangsaku sekarang? Itulah pertanyaan yang seringkali penulis ajukan ketika mengalami kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan terutama di area publik atau area umum. Pembaca tentu juga tidak heran melihat kondisi atau perilaku masyarakat Indonesia yang saat ini tidak sudah tidak lagi mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Dahulu Indonesia yang dikenal dengan sebutan nusantara pada masa Belanda memiliki kekayaan alam yang luar biasa (gemah ripah loh jinawi) yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk Indonesia untuk kesejahteraan hidupnya. Sekarang berbeda kondisinya, masih tetap gemah ripah loh jinawi namun yang dapat memanfaatkan dan menikmati untuk kesejahteraan hidup hanya segelintir atau sekelompok orang yang memiliki karakteristik memiliki kekuatan (power), kekayaan, dan kekuasaan. Permasalahannya, orang-orang dengan karakteristik tersebut menggunakan aji mumpun, yaitu selagi masih memiliki kekuatan, kekayaan, dan kekuasaan, memanfaatkan secara maksimal kekayaan alam untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, bahkan mementingkan keberlangsungan anak cucunya sendiri bukan untuk kepentingan umum. Hal ini tidak mengherankan karena pada dasarnya manusia itu memiliki belongingnessterutama dengan yang memiliki ikatan darah ataupun ikatan emosi. Namun, terdapat belongingnessyang lebih tinggi yang seharusnya menjadi dasar relationship yang mutualisme antar manusia yang tidak hanya sekadar menunjukkan kolektivitas yaitu kesejahteraan hidup bersama sesuai dengan kondisi atau syarat masing-masing. Jadi masih ramahkah bangsa Indonesia untuk masyarakatnya sendiri yang tidak dekat dengan penguasa, pemegang kekuatan, dan pemiliki kekayaan?. Orang-orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa, pemegang kekuatan, dan pemiliki kekayaan juga memiliki kecenderungan berperilaku seperti penguasa, pemegang kekuatan, dan pemilik kekayaan namun dengan tingkatan yang sedikit rendah. Makin tinggilah terbentuk gap-gap antara masyarakat Indonesia, dengan corak khas terjadinya perilaku yang sering termasuk kategori perilaku semena-mena, perilaku yang tidak tepat, ataupun perilaku yang melanggar etika normatif.

Coba kita refleksikan beberapa bentuk perilaku berikut. Seorang pengendara kendaraan bermotor saat menabrak pengendara lain, ternyata pengendara yang menabrak yang marah-marah dan meminta ganti rugi. Saat terjadi antrian tiket yang panjang, seseorang tidak mau mengantri dan saat ditegur malah marah karena merasa sudah mengantri. Petugas keamanan yang harusnya menjalankan tugas siapa saja yang boleh masuk area tertentu ternyata memperbolehkan masuk orang-orang tertentu yang seharusnya tidak boleh masuk karena memberikan “upeti” seperti makanan, rokok, ataupun uang. Petugas kebersihan yang malas menjalankan tugas secara tepat waktu, sehingga datang terlalu siang kemudian ketika menyapu atau mengepel dilewati mahasiswa yang sudah waktunya masuk kuliah kemudian menjadi marah dan memberikan wajah tidak menyenangkan. Itu adalah beberapa gambaran perilaku tidak menyenangkan yang menunjukkan banyaknya kemerosotan karakter di masyarakat Indonesia. Penghormatan atau cara memperlakukan orang lain secara mutualisme sudah sulit dilakukan karena nilai dasar manusia hedonisme dan transaksional sudah semakin kuat dipegang oleh masyarakat Indonesia. Pada akhirnya yang kuat, yang kaya, dan yang punya kekuasaan yang akan kembali diuntungkan atau dimenangkan dalam berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Bukan lagi mempertimbangkan moralitas atau mutualisme dalam menyelesaikan permasalahan. Pertanyaannya, mana masyarakat Indonesia yang pada masa Belanda dikenal dengan Bumiputra yang memiliki keramahtamahan dalam relasi sosial, yang mengutamakan gotong royong dan musyawarah mufakat untuk setiap permasalahan yang muncul? Bagaimana kita akan memberikan contoh perilaku atau karakter yang baik bagi generasi penerus Bangsa apabila perilaku kita sendiri jauh dari gambaran perilaku berkarakter? Pendidikan karakter merupakan tanggungjawab kita semua, tidak hanya dalam bentuk pendidikan karakter secara formal, namun model dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Mari kita renungkan pertanyaan, masih ramahkah bangsa kita?. Semoga tulisa ini bermanfaat.