Wajar Anak Punya Idola, Wooow Bigbang fadjar October 7, 2013

Wajar Anak Punya Idola, Wooow Bigbang

Kebanyakan anak dan remaja mengidolakan seseorang. Mereka bisa menjadi fans fanatik atau sekedar suka. Apa saja batas aman dan sudah keterlaluan?

REMAJA mendadak berdandan ala Bigbang yang asli Korea atau memborong puluhan CD artis idolanya. Ayah dan bunda tidak perlu panik berlebihan. ‘Mengidolakan seseorang adalah hal wajar. Apalagi memasuki masa remaja yang memang merupakan masa pencarian jati diri,’ jelas psikolog dari Universitas Surabaya Nurlita Endah Karunia SPsi MPsi.

Ada dampak positif bagi anak dalam sudut pandang psikologi. Yakni, anak merasa lebih percaya diri dan memiliki mental kuat dalam menghadapi berbagai masalah. Mereka akan memiliki lebih banyak teman baru. Terutama bila si ABG bisa menyaring sisi positif sang idola.

Misalnya, anak dapat mempelajari perjuangan idola mulai titik nol sampai sukses. Atau, cara membagi waktu antara karir dan pendidikan. Dari situ, anak akan belajar mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi. ‘Idola juga pembangkit semangat saat anak sedang sedih,’ kata perempuan asli Lumajang tersebut.

Meski demikian, pijakan awal adalah peran orang tua dalam ‘mengisi’ anak dengan norma sosial dan agama. Dengan demikian, anak memiliki pegangan aturan yang kuat untuk menjaga dalam pergaulan sosial.

Jika selanjutnya orang tua membebaskan anak untuk menentukan idola, anak tidak asal mengubah sifat menjadi lebih buruk. Tentu tetap dibarengi pengawasan orang tua. ‘Jangan terlalu berlebihan mengawasi anak sampai dikatakan overprotective. Sebab, hal tersebut kelak bisa menciptakan trauma mendalam,’ tegasnya.

Ada satu titik yang membahayakan. Yakni, tabiat anak berubah ke arah negatif karena meniru idolanya. Misalnya, ngambek berhari-hari karena tidak dibelikan barang yang sama dengan idolanya, mengikuti konser tanpa izin, sampai bolos sekolah, merokok, dan memakai narkoba. Selain itu, perilaku konsumtif selaku penggemar fanatik.

Jika itu sudah terjadi, hal pertama yang perlu dilakukan orang tua adalah mengajak anak berbicara dari hati ke hati. ‘Jangan sekali-sekali orang tua melarang anak dengan cara kekerasan. Hal tersebut sangat fatal karena bisa membekas berupa dendam,’ tegas perempuan yang menyelesaikan studi S-2 di Fakultas Psikolog Ubaya tersebut.

Orang tua pula yang mengajak anak bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya. ‘Jadikan orang tua sebagai tempat sandaran yang paling nyaman. Sebab, pada dasarnya, fungsi orang tua lebih banyak berdiskusi dengan anak, tidak malah mengatur,’ ungkapnya. (bri/c5/nda)

Sumber: Jawa Pos, 5 Oktober 2013