Komnas Perempuan Minta Pemerintah Hapus Kolom Agama dalam KTP fadjar April 26, 2013

Komnas Perempuan Minta Pemerintah Hapus Kolom Agama dalam KTP

Komnas Perempuan Minta Pemerintah Hapus Kolom Agama dalam KTP

Surabaya – Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), KH Husein Muhammad, meminta pemerintah untuk menghapus kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP).
‘Negara tidak boleh tampil terlalu teknis dalam soal agama, kecuali menyangkut kepentingan umum, seperti adanya konflik agama atau masalah haji yang memungkinkan negara berperan,’ katanya dalam kuliah umum di Universitas Surabaya (Ubaya), Rabu (24/4).
Di hadapan puluhan mahasiswa, aktivis perempuan, dan pusat studi HAM dari berbagai universitas di Surabaya, ia menegaskan bahwa agama itu ada yang bersifat privat dan universal, maka negara boleh berperan dalam konteks agama yang sifatnya universal.
‘Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila itu bukan berarti negara dapat berperan dalam semua urusan agama, misalnya menetapkan enam agama sebagai agama resmi dalam KTP atau menetapkan mazhab tertentu dalam agama sebagai aliran sesat. Itu konteks privat,’ katanya.
Dalam kuliah umum bertajuk ‘Isu Keberagamaan dan Berkeyakinan dalam Perspektif Perempuan’ itu, ia menilai penetapan enam agama sebagai agama resmi dalam KTP akan memberangus 239 aliran kepercayaan yang lebih dulu ada sebelum enam agama resmi itu masuk.
‘Soal Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, peran negara juga salah, karena Ahmadiyah dan Syiah itu mazhab yang memiliki prespektif sendiri. Orang lain boleh menilai mereka sesat, tapi mereka juga mengakui rukun iman dan rukun Islam, karena itu negara jangan masuk ke privat,’ katanya.
Apalagi, katanya, peran negara dalam urusan agama yang berkonteks privat itu bertentangan dengan HAM, sebab mereka yang tidak menganut agama resmi akan sulit mengurus surat nikah, akta kelahiran, dan seterusnya yang menimbulkan kesulitan lain, seperti sulit sekolah, sulit kerja, dan seterusnya.
‘Karena itu, saya tidak setuju ada pasal penghinaan agama dan sejenisnya dalam RUU KUHP, sebab penghinaan itu bisa bias, karena prespektif sesat atau penghinaan itu bergantung kepada cara pandang, padahal Islam sendiri banyak mazhab,’ katanya.
Dalam kegiatan yang didukung ‘The Indonesian Legal Resource Center’ (ILRC) dan Pusat Studi HAM Ubaya itu, pemerhati masalah perempuan asal Cirebon itu menegaskan bahwa negara sendiri justru tidak berperan dalam konflik agama yang terjadi.
‘Itu terjadi karena negara sendiri masuk ke dalam urusan privat dari agama, sehingga negara tidak netral, karena itu ada kesan aparat penegak hukum melakukan pembiaran ketika terjadi konflik agama, seperti di Bogor, Bekasi, Pasuruan, Sampang, dan sebagainya,’ katanya.
Masalahnya juga menjadi runyam, karena masyarakat juga mudah terprovokasi akibat kemiskinan yang dialami dan juga masuknya provokasi dari kepentingan global untuk ‘menghancurkan’ Indonesia.
‘Orang lain bilang orang Indonesia sekarang intoleran, padahal jumlah orang Indonesia yang intoleran itu tidak banyak dan mayoritas orang Indonesia justru masih sangat toleran, tapi mereka mampu ‘menjual’ isu agama itu,’ katanya.
Penulis: /ARD
Sumber:ANT
dikutip dari https://www.beritasatu.com
Komnas Perempuan: Hapus Kolom Agama Di KTP
Surabaya (Antara Kalbar) – Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan KH Husein Muhammad meminta pemerintah untuk menghapus kolom agama pada kartu tanda penduduk (KTP).
‘Negara tidak boleh tampil terlalu teknis dalam soal agama, kecuali menyangkut kepentingan umum, seperti adanya konflik agama atau masalah haji yang memungkinkan negara berperan,’ katanya dalam kuliah umum di Universitas Surabaya (Ubaya), Rabu.
Di hadapan puluhan mahasiswa, aktivis perempuan, dan pusat studi HAM dari berbagai universitas di Surabaya, ia menegaskan bahwa agama itu ada yang bersifat privat dan universal, maka negara boleh berperan dalam konteks agama yang sifatnya universal.
‘Jadi, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila itu bukan berarti negara dapat berperan dalam semua urusan agama, misalnya menetapkan enam agama sebagai agama resmi dalam KTP atau menetapkan mazhab tertentu dalam agama sebagai aliran sesat. Itu konteks privat,’ katanya.
Dalam kuliah umum bertajuk ‘Isu Keberagamaan dan Berkeyakinan dalam Perspektif Perempuan’ itu, ia menilai penetapan enam agama sebagai agama resmi dalam KTP akan memberangus 239 aliran kepercayaan yang lebih dulu ada sebelum enam agama resmi itu masuk.
‘Soal Ahmadiyah dan Syiah, misalnya, peran negara juga salah, karena Ahmadiyah dan Syiah itu mazhab yang memiliki prespektif sendiri. Orang lain boleh menilai mereka sesat, tapi mereka juga mengakui rukun iman dan rukun Islam, karena itu negara jangan masuk ke privat,’ katanya.
Apalagi, katanya, peran negara dalam urusan agama yang berkonteks privat itu bertentangan dengan HAM, sebab mereka yang tidak menganut agama resmi akan sulit mengurus surat nikah, akta kelahiran, dan seterusnya yang menimbulkan kesulitan lain, seperti sulit sekolah, sulit kerja, dan seterusnya.
‘Karena itu, saya tidak setuju ada pasal penghinaan agama dan sejenisnya dalam RUU KUHP, sebab penghinaan itu bisa bias, karena prespektif sesat atau penghinaan itu bergantung kepada cara pandang, padahal Islam sendiri banyak mazhab,’ katanya.
Dalam kegiatan yang didukung ‘The Indonesian Legal Resource Center’ (ILRC) dan Pusat Studi HAM Ubaya itu, pemerhati masalah perempuan asal Cirebon itu menegaskan bahwa negara sendiri justru tidak berperan dalam konflik agama yang terjadi.
‘Itu terjadi karena negara sendiri masuk ke dalam urusan privat dari agama, sehingga negara tidak netral, karena itu ada kesan aparat penegak hukum melakukan pembiaran ketika terjadi konflik agama, seperti di Bogor, Bekasi, Pasuruan, Sampang, dan sebagainya,’ katanya.
Masalahnya juga menjadi runyam, karena masyarakat juga mudah terprovokasi akibat kemiskinan yang dialami dan juga masuknya provokasi dari kepentingan global untuk ‘menghancurkan’ Indonesia.
‘Orang lain bilang orang Indonesia sekarang intoleran, padahal jumlah orang Indonesia yang intoleran itu tidak banyak dan mayoritas orang Indonesia justru masih sangat toleran, tapi mereka mampu ‘menjual’ isu agama itu,’ katanya. (Zita Meirina)
Editor: Nurul Hayat
Sumber: https://kalbar.antaranews.com