Proses Rekonstruksi Pengungsi Merapi dalam tinjauan Hidup Ukuran Kaping Sekawan Ki Ageng Suryomentaram fadjar February 26, 2013

Proses Rekonstruksi Pengungsi Merapi dalam tinjauan Hidup Ukuran Kaping Sekawan Ki Ageng Suryomentaram

Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Tulisan ini akan menggambarkan tentang proses rekonstruksi pengungsi Merapi berdasarkan tinjauan Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Sebagai pengantar, saat ΐйΐ pengungsi Merapi tengah menjalani fase rekonstruksi, yaitu proses kembali membangun fisik dan psikologis seperti sebelum mengalami bencana. Banyak aspek psikologis yang berperan dalam proses rekonstruksi, salah satunya adalah pandangan hidup dalam ukuran kaping sekawan (hidup dalam ukuran keempat).

Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan dalam kehidupan manusia terdapat 4 tahapan ukuran. Hidup dalam ukuran pertama digambarkan individu sudah mampu merasakan secara fisik kehidupan dunia, tetapi belum mampu menggunakan fisiknya untuk memenuhi kehendaknya. Hidup dalam ukuran kedua individu selain sudah mampu merasakan secara fisik juga telah dapat menggunakan fisik sesuai kehendaknya. Pada hidup ukuran kedua individu belum mampu memahami hukum-hukum alam.

Hidup dalam ukuran ketiga individu telah memiliki ciri pada hidup dalam ukuran pertama dan kedua serta telah mampu memahami hukum alam. Hidup dalam ukuran keempat individu hidup berinteraksi dengan benda-benda hidup yang memiliki rasa. Pada ukuran keempat individu harus mampu memahami orang lain, keseimbangan memposisikan orang lain seperti dirinya dan memposisikan dirinya seperti orang lain sehingga bisa saling memahami dan hidup rukun berdampingan.

Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram telah mewarnai kehidupan masyarakat Jawa sekitar Merapi. Hal ini tidak terlepas dari asal-usul Ki Ageng Suryomentaram yang merupakan Pangeran Keraton Yogyakarta, Dengan latar belakang keraton, pendidikan, pemikiran kritis dan kehidupan spiritual ajaran Ki Ageng Suryomentaram dapat diterima masyarakat. Kehidupan pengungsi Merapi berangsur pulih dari kondisi keterpurukan. Berbagai upaya dilakukan untuk bangkit kembali. Namun masih terdapat juga kondisi pengungsi yang belum mampu resiliensi. Kondisi yang belum merata ada yang mulai membaik namun ada yang belum membaik tidak serta merta menumbuhkan persaingan ataupun konflik bagi pengungsi. Gesekan-gesekan memang terjadi namun wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Namun masih ada prinsip yang pengungsi Merapi jaga, yaitu hidup dalam ukuran keempat.

Tampilan perilaku hidup dalam ukuran keempat pengungsi Merapi sebagai berikut. Ketika satu tetangga merasakan kesusahan seperti meninggal dunia (sripah) hal-hal yang berbau kesenangan dikurangi atau tidak ditampilkan secara berlebihan. Hal seperti itu menunjukkan tenggang rasa (tepo sliro), merasakan apa yang dirasakan orang lain, sehingga kerukunan tetap terjalin. Kegiatan gugur gunung (kerja bhakti) tetap dilaksanakan dan makin sering dilakukan. Kegiatan gugur gunung tidak sekadar membersihkan atau membangun desa secara fisik tetapi juga mengembalikan serta memelihara kondisi psikologis dan kebersamaan dalam hidup ukuran keempat.

Hidup dalam ukuran keempat menjadi salah satu ukuran kebahagiaan masyarakat Merapi. Tidak mengherankan bahwa proses rekonstruksi yang dilakukan juga menyasar pada pencapaian kebahagiaan bersama dengan hidup rukun dan berdampingan meski kondisi tengah mengalami bencana. Gambaran masyarakat Jawa dengan prinsip hidup dalam ukuran keempat tetap terpatri dalam diri pengungsi Merapi sebagai kesatuan masyarakat utuh.

Refleksi pembelajaran yang dapat dipetik hikmahnya adalah meski kita tidak mengenal prinsip hidup ukuran keempat, namun prinsip tersebut telah kita kenal dengan nama yang lain. Manusia tidak boleh melupakan tujuan bersama, tidak boleh mencapai tujuan sendiri dan mengabaikan tujuan yang dapat diraih bersama orang lain. Sekilas mengingat pepatah Jawa bahwa orang yang mengutamakan kepentingannya sendiri dan mengabaikan orang lain sama saja dengan menyiapkan jerat untuk lehernya sendiri. Suatu saat kita pasti membutuhkan orang lain, maka hendaknya kita tidak mengabaikan keberadaan orang lain untuk kepentingan pribadi. Semoga bermanfaat.