Dr Xavier Daniel PhD Ajarkan Ilmu Bioteknologi yang Masih Jarang di Indonesia fadjar January 18, 2013

Dr Xavier Daniel PhD Ajarkan Ilmu Bioteknologi yang Masih Jarang di Indonesia

Kembangkan Semangka Biru hingga Buah Kebal Hama

Xavier Daniel adalah satu-satunya dosen asal Prancis yang bekerja di Universitas Surabaya. Sejak tiga tahun lalu, dia mengajar di fakultas bioteknologi. Di fakultas yang masih jarang dimiliki kampus lain di Indonesia itu, dia ”bermain-main” dengan keanekaragaman hayati negeri ini.

RIO. F. RACHMAN

SAAT ditemui Rabu siang lalu (16/1) di Laboratorium Bioteknologi Universitas Surabaya (Ubaya), Xavier berada di ruang inkubasi. Dia terlihat mengamati bibit aneka jenis tanaman yang sedang dikembangbiakkan. Tanaman tersebut diletakkan di dalam botol dan gelas-gelas kecil bekas selai. Ada bibit tanaman lavender, anggrek, dan beberapa jenis lain. ”Ini tugas para mahasiswa saya,” kata alumnus Paul Sabatier University, Toulouse, Prancis, itu.

Meski kadang terbata-bata menjawab, dia cukup memahami jika diajak berbicara dengan bahasa Indonesia. Bulan ini, tepat tiga tahun Xavier menjadi dosen Fakultas Bioteknologi Ubaya. ”Fakultas atau jurusan bioteknologi tergolong jarang di Indonesia. Hanya sekitar empat di Indonesia. Tetapi, sebenarnya negeri ini potensial sekali untuk ilmu ini,” ujar suami Diah Hanifa tersebut.

Pria kelahiran 28 Januari 1971 yang melakukan penelitian postdoctoral di University of California, Los Angeles, itu menyebutkan, keanekaragaman hayati di Indonesia luar biasa kaya. Sedangkan bioteknologi bisa digunakan untuk memanfaatkan kekayaan alam itu. Pria yang berperawakan tegap tersebut menerangkan, ada banyak hal yang dipelajari di disiplin ilmu satu ini. Misalnya, rekayasa DNA dan mikroorganisme.

Dengan dua hal itu, dia bersama mahasiswanya mengembangkan banyak hal. Di antaranya, membuat semangka berwarna biru. Selain itu, merekayasa genetik tanaman kedelai atau jagung agar tumbuh dengan baik di pesisir pantai. Juga, membuat buah kebal terhadap hama. Meski kebal hama, menurut Xavier, buah tersebut tetap layak dikonsumsi alias aman.

Melalui ilmu itu, bisa juga meracik makanan tertentu yang sebelumnya tidak umum. Belum lama ini, mahasiswa Ubaya mengolah nasi rawon instan. Biasanya, hanya ada mi instan atau bubur instan. Kali ini, ada rawon lengkap dengan nasi dan dagingnya masuk dalam kemasan dan tinggal diguyur air panas untuk menikmatinya.

”Mahasiswa di sini rajin, tidak pantang menyerah. Jadi, mereka lebih bisa memahami pelajaran karena berkemauan kuat. Saya yang ngajar juga jadi bersemangat,” bebernya.

Menurut Xavier, lulusan fakultas bioteknologi bisa mendapat pekerjaan di perusahaan makanan atau perusahaan farmasi. Juga, terbuka lebar peluang menjadi peneliti tentang tumbuhan. Sejauh ini sudah banyak alumni yang mendapat tempat di perusahaan besar tanah air. Sebagian mereka, kata dia, melanjutkan S-2 di negara lain yang sudah lebih akrab dengan disiplin ilmu tersebut.

Meski demikian, perjalanan karir Xavier sebagai dosen bukan tanpa hambatan. Seperti biasa, persoalan bahasa menjadi momok tersendiri. Sempat tebersit untuk menyerah. Sebab, dalam rapat-rapat di Ubaya, sebagian besar memakai bahasa Indonesia. Berbeda dengan pelajaran di kelas yang kerap disisipi bahasa Inggris. ”Di semester pertama dan kedua, lelah sekali saya karena belum paham benar dengan bahasa Indonesia. Benar-benar nggak mengerti,” cetusnya.

Karena itu, dia tekun belajar bahasa Indonesia di Ubaya Language Center (ULC). Sekarang dia sudah mulai paham dengan bahasa Indonesia. Meski demikian, hingga saat ini dia terus memperdalam ilmu bahasa tersebut dengan mengambil kelas sekali seminggu di ULC.

Selain kendala bahasa, Xavier menyatakan, tak ada problem sama sekali dalam mengembangkan bioteknologi secara besar-besaran. Alam Indonesia, menurut dia, amat kaya. Itulah salah satu alasan dia suka berada di bumi khatulistiwa ini.

Ke depan, ilmu itu bisa dikembangkan untuk membuat bahan bakar dari tumbuhan yang pastinya ramah lingkungan dan terbarukan. ”Jadi, Indonesia bisa lepas dari ketergantungan terhadap bangsa lain karena sumber daya alam dan manusianya sudah bagus,” tegasnya.

Berawal dari Ubaya, Xavier ingin turut memberikan khasanah bioteknologi di sini. Selain itu, kondisi Surabaya yang bersahabat dan nyaman menjadi alasannya untuk tetap tinggal.

Xavier mengatakan, meski baru tiga tahun mengajar di Ubaya, sejatinya dirinya berkenalan dengan Surabaya sekitar 2006. Kakak laki-lakinya, Eric Daniel, yang berprofesi sebagai pengusaha kopi menikah dengan Suparni, perempuan asal Surabaya di Hongkong. Saat itu Xavier memang sempat menetap di negeri tersebut selama beberapa bulan.

Sejak itulah dia mulai mengenal banyak hal tentang Indonesia. Terutama soal masakan. Kare, rendang, ikan bakar, rawon, dan beragam menu lain dia cicipi. Kebetulan, Suparni adalah juru masak sukses di Hongkong. Bahkan, selain masakan Prancis dan Italia, hingga saat ini dia kerap menyisipkan makanan khas Indonesia tadi di meja makannya.

Xavier jadi tahu vahwa makanan di Indonesia memiliki banyak cita rasa. Xavier beranggapan, pasti tumbuhan di negeri ini juga beraneka rupa. Padahal, bioteknologi yang ditekuninya berkaitan erat dengan tumbuhan dan mikroorganisme.

Pria yang sebelumnya mengajar di Swiss itu mencari cara agar bisa mengajar di Indonesia. Akhirnya, dia mendapatkan Ubaya sebagai persinggahan. Kecintaannya pada Surabaya semakin mantap setelah menikahi Diah pada 26 Maret 2011.

”Saya cocok dengan Ubaya. Sebenarnya fakultas atau jurusan ini juga ada di beberapa kampus di Jogjakarta dan Jakarta. Tapi, Ubaya memiliki lingkungan kondusif dan mahasiswa yang asyik,” kata pria yang saat ini bermukim di apartemen Metropolis tersebut.

Keakraban dengan mahasiswa itu dia gambarkan dengan nge-band bareng dua mahasiswa Ubaya. Plus, salah seorang teman istrinya yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Setiap Jumat sore, dia menjadi pemain bas dalam band yang belum memiliki nama itu. Lagu yang dimainkan, kata dia, kadang berbahasa Inggris dan kadang berbahasa Indonesia.

Nge-band itu dilakukan di sebuah studio yang berada di kawasan Gubeng. Dia mengatakan, bermain musik adalah salah satu caranya untuk relaksasi. Sabtu dan Minggu dihabiskannya bersantai dengan sang istri yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah internasional di Surabaya Barat tersebut.

Saat ini kecintaannya pada Indonesia, terutama Surabaya, makin berkembang. Dia bahkan siap mengajar di kota ini hingga 20 tahun ke depan. ”Sampai dapat gelar profesor, bahkan sampai pensiun,” tegasnya. (*/c7/nda)

Sumber: Jawa Pos, 18 Januari 2013