Sosialisasi Muhammad Rosiawan dalam Memasyarakatkan SNI fadjar November 8, 2012

Sosialisasi Muhammad Rosiawan dalam Memasyarakatkan SNI

Jadikan Mata Kuliah Mandiri, Tularkan Juga kepada Keluarga

Keseriusan Muhammad Rosiawan untuk memasyarakatkan standardisasi begitu kuat. Salah satu hasilnya, dia memasukkan materi standardisasi menjadi mata kuliah di Universitas Surabaya (Ubaya).

JUNEKA SUBAIHUL MUFID

BERBAGAI kartu berjajar dengan rapi di sebuah meja. Di bawah kartu itu ada beberapa papan permainan yang juga bermacam-macam. Tangan Muhammad Rosiawan mengambil salah kartu yang berlabel uno. Dia menjelaskan cara main kartu tersebut. ‘Tinggal disesuaikan warna atau angkanya,’ kata pria yang akrab disapa Rosi tersebut saat ditemui di Laboratorium Teknik Industri Ubaya pada Senin lalu (5/11).

Kartu itu tidak berbeda dari kartu uno pada umumnya. Namun, ada item tambahan, selain gambar dan angka. Pada setiap kartu dilengkapi rangkaian nomor yang menunjukkan kode standar nasional Indonesia (SNI). Misalnya, kartu yang bergambar air minum dilengkapi SNI 01-0220-1987. ‘Kalau memegangnya di tangan, kita sekalian bisa melihat nomor SNI-nya. Lama-lama, kita bisa hafal juga,’ jelas pria kelahiran Surabaya, 16 Juni 1965, itu.

Kartu uno dengan materi SNI tersebut hanyalah salah satu inovasi Rosi bersama mahasiswa Jurusan Teknik Industri Ubaya. Ada pula kartu permainan yang berisi aneka pertanyaan dan berkaitan dengan materi SNI. Ada juga kartu monopoli dan halma yang berukuran jumbo dengan tema SNI. Variasi lainnya, puzzle tiga dimensi yang bertema SNI untuk siswa SD.

Alat permainan tersebut dibawa Rosi pada sebuah forum internasional di Bali beberapa waktu lalu. Yang paling mendapatkan apresiasi adalah monopoli yang berukuran 8 x 8 meter. Saat itu, berbagai akademisi dan praktisi yang berkonsentrasi pada bidang standardisasi sangat ingin memiliki media pembelajaran tersebut. ‘Tetapi, tidak saya perbolehkan. Nanti itu ditiru mereka,’ katanya sambil menunjukkan dokumentasi foto pada kegiatan di Bali.

Rosi menceritakan, berbagai media pembelajaran yang berhasil dibuat tersebut adalah hasil mata kuliah standardisasi di Jurusan Teknik Industri Ubaya. Mata kuliah dengan beban 3 SKS itu mulai diajarkan secara mandiri sejak 2010. Sebelumnya, materi standardisasi masuk mata kuliah manajemen kualitas.

Saat ini, kata Rosi, hanya ada beberapa perguruan tinggi yang memiliki mata kuliah standardisasi. Di antaranya, Universitas Diponegoro Semarang, Universitas Trisakti Jakarta, dan Ubaya.

Sebelum mata kuliah standardisasi diterapkan di Ubaya, Rosi bersama beberapa dosen mendapatkan tugas untuk mendampingi sebuah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam bidang karet sil. UMKM itu biasanya menyetorkan hasil produksinya kepada pengepul besar. Tetapi, untung yang didapatkan kecil sehingga UMKM tersebut ingin mengekspor sendiri hasil produksi ke luar negeri. Nahas, barang itu harus dikembalikan lantaran tidak sesuai dengan standar.

‘Memang, masih banyak UMKM di Jatim yang berjumlah 4,2 juta tersebut yang belum tahu standardisasi,’ ujar Rosi. Dia akhirnya membantu UMKM tersebut mengurus standardisasi sampai berhasil mengekspor hasil usaha mereka ke luar negeri.

Karena begitu pentingnya standardisasi, Rosi mengusulkan untuk memasukkan materi tersebut pada mata kuliah. Usul itu pun disepakati. ‘Sebenarnya, tujuan mata kuliah tersebut, kelak mahasiswa bisa memberikan pendampingan yang serupa. Kalau dibuat mata kuliah, kan lebih sistematis,’ ungkapnya.

Keseriusan suami Juliani Dyah Trisnawati itu tidak hanya terwujud dalam dunia akademik. Di lingkup keluarga pun, dia ”menyosialisasikan” materi standardisasi kepada dua putrinya, Sarah Nur Haliza dan Iffa Nur Latifa. Langkah positif tersebut cukup berhasil. Sarah yang bersekolah di SMP Islam Al Azhar 13 semakin jeli dalam memilih-milih barang atau makanan. Dia selalu selektif dengan melihat label SNI dan komposisi pada makanan tersebut.

‘Jika tidak ada label SNI-nya, dia tidak mau beli makanan itu,’ terang pria yang menempuh kuliah S-1 di Statistik ITS itu. Bagi dirinya pribadi, Rosi semakin jeli dan cermat dalam melihat setiap barang. Terutama pencantuman logo SNI.

Memang, masih barang-barang tertentu yang wajib mencantumkan logo SNI dan nomor seri. Di antaranya, makanan, komoditas unggulan dan terlindungi, serta barang-barang untuk keamanan, seperti helm dan kompor gas. ‘Ada lebih dari tujuh ribu barang yang punya SNI,’ jelasnya.

Kualitas barang yang punya SNI bisa dipastikan dari segi keamanan, keselamatan, dan keramahan pada lingkungan. Dia mencontohkan helm. Beberapa kriteria helm yang memenuhi standar meliputi kekuatan dari benturan, tali pengikat, serta kemampuan untuk rendam kejut. ‘Khusus helm logo SNI itu harus dibuat timbul atau emboss,’ ungkapnya.

Secara khusus, barang yang mendapatkan logi SNI tersebut telah melalui pengujian dari Badan Standardisasi Nasional (BSN) serta lembaga yang terkait dengan pengawasan. Sebuah industri yang ingin mencantumkan logo SNI pada hasil produksinya pun tidak bisa sembarangan. Mereka harus memenuhi standar tertentu yang sesuai dengan SNI pada barang tersebut.

‘Bila industri berhasil memiliki SNI itu, ada sangat banyak manfaatnya,’ kata pria yang juga ketua Dewan Pimpinan Daerah Masyarakat Standardisasi Jatim (DPW Mastan) tersebut. Salah satunya adalah perlindungan produk dan keterjaminan kualitas.

Rosi mengungkapkan usaha yang dilakukannya bersama pengurus DPW Mastan sekitar dua tahun lalu. Saat itu, dunia industri bidang kalsium silikat untuk gipsum sedang meradang. Penyebabnya, ada barang impor dengan jenis yang sama dari Thailand. Tetapi, kualitasnya lebih jelek daripada barang yang diproduksi di dalam negeri. Ibaratnya, bila terjadi kebakaran, api bisa cepat merambat melalui gipsum yang tidak standar tersebut. ‘Harganya lebih murah,’ tuturnya.

Kejadian tersebut tentu akan merugikan produsen dalam negeri. Karena itu, DPW Mastan bersama para produsen segera mengusulkan standardisasi untuk barang terebut. Namun, dibutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit untuk mendapatkan label SNI. Sebab, mereka harus melewati penelitian ilmiah. Setelah itu, hasilnya diusulkan ke BSN. Bila mendapatkan persetujuan, pengajuan tersebut baru bisa masuk ke Kementerian Perindustrian. Setelah semua proses dilalui, barulah SNI untuk produk itu bisa diterapkan.

‘Perjuangannya amat lama. Kami harus berkali-kali bertemu dengan pemangku kepentingan. Biayanya juga tidak sedikit,’ urai Rosi. Namun, karena bertekad untuk mengegolkan SNI itu, lingkungan industri bidang gipsum itu akhirnya berhasil. Waktu yang dibutuhkan untuk melalui semua proses untuk mendapatkan SNI tersebut sekitar setahun.

Kerja keras tersebut berbuah manis. Barang dari Thailand yang kualitasnya kurang bagus itu akhirnya harus dikembalikan. Selain itu, bila ada pengiriman barang lagi, standarnya juga harus seperti SNI.

Usaha tersebut hanyalah sebagian kecil dari kiprah Rosi untuk memasyarakatkan SNI. Masih banyak masyarakat yang belum mengerti arti penting standardisasi. ‘Padahal, dengan adanya standar itu, kualitas barang akan lebih terjamin,’ tuturnya. (*/c12/tia)

Sumber: Jawa Pos, 8 November 2012