Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung Kaya Pengalaman Militer fadjar October 24, 2012

Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung Kaya Pengalaman Militer

Belajar Peluru Kendali sampai Inggris

Rektor Ubaya Prof Joniarto Parung pernah menjadi perwira militer Angkatan Darat selama lima tahun. Bahkan, hingga sekarang dia masih menjadi guru militer (gumil) di bidang peluru kendali.

JUNEKA SUBAIHUL MUFID

ALBUM foto yang terlihat kusam itu seolah menjadi saksi bisu perjalanan hidup Prof Joniarto Parung. Pada lembar pertama, sebuah foto memperlihatkan sosok Joni -begitu Joniarto Parung disapa- menenteng senjata api laras panjang. Dia berdiri dengan gagah. Mengenakan topi baja dan berseragam loreng.

Sambil tersenyum, Joni menjelaskan asal muasal foto itu saat ditemui di ruang kerjanya Jumat lalu (19/10). Foto tersebut diambil saat latihan dasar militer di sebuah hutan Magelang pada 1986. Aktivitas itu dilakukan sesaat setelah dia lulus dari Sekolah Perwira Militer Wajib ABRI Gelombang I Angkatan 1985/1986. ‘Saya terlihat kurus ya?’ ujar pria kelahiran 15 November 1960 tersebut.

Pendidikan wajib militer itu dijalaninya setelah lulus dari Jurusan Teknik Elektro Universitas Hasanuddin, Makassar. Namanya masuk dalam daftar orang-orang yang dipanggil negara untuk mengikuti wajib militer sesuai dengan peraturan. Padahal, pada saat bersamaan, Joni baru seminggu mengikuti pendidikan manajemen setara S-2 di Jakarta yang dia dapatkan dengan susah payah.

‘Saat itu saya harus memilih. Dikurung dua tahun delapan bulan atau ikut tes wajib militer,’ kenangnya. Daripada dikurung dua tahun, dia lebih memilih tes wajib militer (wamil). Bila nanti lulus, toh kewajiban dinas di militer hanya dua tahun.

Karena saat itu Joni merasa wamil tak sesuai dengan hati kecilnya, dia ogah-ogahan menjalani tes tersebut. Saat tes berlari, misalnya, dia memperlambat laju larinya dan seolah-olah kepayahan memutari lapangan. Bahkan, agar lebih meyakinkan, dia pura-pura terjatuh. ‘Tapi, pelatihnya tak kalah pintar. Dia tahu bahwa saya itu hanya pura-pura,’ tuturnya lantas tersenyum.

Setelah tes lari, berlanjut tes kesehatan. Joni pernah mendengar, calon perwira yang punya sakit mag atau sakit kuning bisa bebas dari wamil. Nah, pada saat didatangi dokter, dia mengaku punya riwayat sakit mag.

‘Tapi, ya ketahuan juga kalau pura-pura,’ ungkapnya. Sebab, Joni mengaku sakit saat dokter menekan perut bagian tengah. Padahal, indikasi mag bukan pada perut bagian tengah. Dua usaha untuk lepas dari wajib militer itu akhirnya gagal.

Joni lulus dan dikirim ke Magelang untuk menjalani pelatihan militer dasar. Joni lulus pendidikan perwira tersebut dengan pangkat letnan satu. ‘Ini nama saya ada di nomor 117,’ katanya sambil menunjukkan plakat lulusan wamil. Gelar Ir (insinyur) tersemat di depan nama Joni.

Saat menjalani pelatihan, pria kelahiran Tanatoraja itu baru menyadari bahwa sarjana teknik elektro memang sedang dibutuhkan Angkatan Darat (AD). Kebetulan, sedang ada pemesanan peluru kendali terbaru dari Inggris. Selain itu, ada program pelatihan mengoperasikan dan merawat senjata untuk melindungi objek vital dari serangan udara tersebut. Nah, lulusan teknik elektro tentu akan lebih mudah memahami bidang peluru kendali karena sudah punya dasar keilmuannya.

‘Tiga bulan setelah latihan dasar, saya dikirim ke Inggris untuk belajar peluru kendali,’ ceritanya. Dia dilatih di British Aerospace Army Weapon Division. Pelatihan itu berlangsung sembilan bulan untuk tahap pertama. Lantas, dia kembali ke Indonesia. Hanya berselang tiga bulan di tanah air, Joni kembali ke Inggris. Dia mendapat tugas memperdalam kelimuan tentang senjata selama delapan bulan.

Sambil melanjutkan kisahnya, Joni menunjukkan foto Tri Sutrisno selaku kepala staf Angkatan Darat saat itu yang tengah berjabat tangan dengan dirinya. Foto tersebut diambil di Inggris, saat Tri mengunjungi para perwira yang belajar di sana.

Setelah pulang dari Inggris, Joni bertugas untuk terus memastikan peluru kendali selalu siap setiap waktu. Selain soal perawatan, ada latihan menembak bersama prajurit lain untuk memastikan kemampuan pengendalian peluru. Dia juga memberikan pelatihan tentang cara merawat senjata kepada perwira lain.

Masa dua tahun dinas militer telah terlewati, Joni menikmati aktivitas yang dulu tak sesuai dengan kemauannya itu. Dia pun melanjutkan tugasnya. Tetapi, genap lima tahun bertugas di militer, Joni mengalami kecelakaan saat latihan. ‘Kaki kanan saya patah,’ cetusnya.

Lantaran patah tulang itu cukup parah, Joni masuk dinas militer dengan menggunakan kruk. Pada suatu ketika, Joni yang mengenakan kruk bertemu dengan salah seorang petinggi militer. Dia menanyakan kepada Joni tentang kesanggupannya untuk terus berada di militer. Petinggi itu juga menawarkan, bila memang ingin menyudahi tugasnya, Joni bisa mengirimkan surat pengunduran diri. ‘Siap, kalau diizinkan,’ tegas Joni kepada petinggi itu.

Pengunduran diri tersebut berjalan cukup mulus. Meski demikian, Joni tetap harus mau membantu militer. Dia menjadi perwira cadangan yang harus selalu siap bila dibutuhkan militer. Joni disumpah untuk tetap menjaga rahasia militer yang dia ketahui. ‘Pindah alamat pun harus lapor ke mabes (markas besar),’ ungkap suami Tjatur Agung Setijari itu.

Tenaganya juga masih dibutuhkan untuk melatih tentara lain di bidang peluru kendali. Bahkan, sampai saat ini dia beberapa kali diminta untuk memberikan pengetahuan dasar tentang bidang tersebut. Jabatan resminya adalah guru militer atau biasa disingkat gumil.

‘Memang berbeda sekali mengajar di kampus dengan di militer,’ ucap Joni sambil menutup album foto yang sedari tadi dia ceritakan. Salah satunya, kebiasaan memberikan hormat dan meminta izin kepada perwira yang berpangkat paling tinggi di kelas meski saat itu Joni bertindak sebagai pengajar.

Tetapi, bila ada peserta pelatihan di militer yang tak serius atau gaduh pada saat diajar, Joni sebagai pengajar tak perlu repot untuk menegur. Biasanya perwira berpangkat paling tinggi langsung menegur peserta yang gaduh.

Setelah mengundurkan diri dari militer, Joni mendapat tawaran untuk mengajar di Universitas Surabaya (Ubaya) sejak 1990. Karirnya bisa dikatakan cukup cemerlang. Dia lantas melanjutkan pendidikan magister di bidang teknik industri di ITB. Pada 2003 dia melanjutkan studi jenjang doktoral di UniversityofStrathclyde,Glasgow, Inggris.

Saat kuliah di Inggris tersebut, citra Indonesia di mata dunia memang sedang terpuruk. Maklum, baru saja ada kejadian bom Bali. Bahkan, bila ada mahasiswa yang mengaku berasal dari Indonesia, selalu ada prasangka negatif. ‘Ransel yang dibawa kerap disangka bom. Itu kan tidak mengenakkan sekali,’ jelas ayah dua putri tersebut.

Kondisi itu membuat Joni dan orang-orang Indonesia lain di Inggris mengadakan festival kebudayaan. Hal itu dilakukan untuk mereduksi pandangan negatif terhadap masyarakat Indonesia. Dalam festival tersebut, disuguhkan berbagai makanan khas, kesenian daerah, serta barang-barang asli Indonesia.

Acara itu bisa dibilang sangat sukses dan mengubah pandangan warga di mancanegara. ‘Festival seperti itu berlandas semangat nasionalisme yang tinggi. Semangat yang juga saya dapatkan di militer,’ kenang guru besar bidang supply chain yang pengukuhannya berlangsung pada 2009 itu.

Cara yang tak jauh berbeda dia terapkan untuk mengelola Ubaya. Joni yang didapuk menjadi rektor Ubaya pada 1 Juni 2011 tersebut selalu menekankan semangat nasionalisme kepada dosen, karyawan, dan mahasiswa.

Dia mengibaratkan kampus seperti sebuah negara kecil. Orang-orang di dalamnya tak boleh mementingkan diri sendiri, tetapi harus bekerja sama untuk memajukan kampus. ‘Semua orang punya peran dan tanggung jawab masing-masing untuk tetap menjaga keutuhan dan kemajuan negaranya,’ tuturnya. (*/c7/nda)