Jangan Hakimi Anak dengan Hanya Label Negatif ketika Tidak Naik Kelas fadjar August 2, 2012

Jangan Hakimi Anak dengan Hanya Label Negatif ketika Tidak Naik Kelas

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Orangtua merupakan figur yang memiliki pengaruh kuat terhadap anak-anak. Perilaku positif ataupun negatif yang ditampilkan anak sangat tergantung pada bagaimana perlakuan orangtua terhadap anak. Di Indonesia orangtua memandang prestasi akademik anak merupakan hal penting. Saat anak meraih prestasi baik maka orangtua akan bangga. Fenomena yang sering muncul saat anak tidak naik kelas adalah berbagai variasi respon orangtua. Pada umumnya adalah rasa marah dan label negatif pada anak sebagai anak yang bodoh. Rasa marah merupakan hal yang wajar, namun bila marah berlebihan dengan tujuan anak akan rajin belajar itu merupakan hal yang tidak tepat. Anak justru akan semakin takut gagal (fear of failure) dan menilai belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan (task aversiveness).

Ketika anak merasa semakin takut gagal ataupun menilai belajar sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan dapat berdampak negatif dalam kehidupan sekolahnya. Misalnya anak akan melakukan kegiatan penunda-nundaan untuk belajar atau mengerjakan tugas. Hal ini disebut dengan prokrastinasi. Saat menilai bahwa kemampuannya di bawah tuntutan tugas belajar, maka anak akan merasa takut gagal sehingga sulit untuk fokus, merasa tidak nyaman, dan kurang termotivasi untuk belajar yang disebut dengan rendahnya flow. Prokrastinasi yang tinggi dan flow yang rendah telah terbukti berdampak pada prestasi akademik. Ketika prestasi akademik semakin menurun, maka konsep diri anak akan negatif. Dengan kondisi psikologis yang masih belum matang dan mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan akan dirasakan sebagai beban bagi anak-anak.

Apa yang seharusnya dilakukan orangtua ketika anak gagal naik kelas? Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah introspeksi penyebab kegagalan anak. Apakah anak-anak tidak rajin belajar? Apakah anak-anak memang mengalami kesulitan dalam memahami materi tertentu? Apakah orangtua kurang berperan dalam proses belajar anak?. Bila hal-hal tersebut diintrospeksi bersama antara anak dan orangtua maka bisa diketahui penyebab dan cara mengatasinya sehingga anak tidak lagi gagal naik kelas.

Kedua, jangan melabel anak hanya dengan label negatif ketika tidak naik kelas. Banyak orangtua kemudian menyebut anaknya dengan sebutan anak bodoh, tidak bisa diandalkan, dan sejenisnya. Kegagalan anak terkadang disebutkan kepada orang lain dengan mengatakan anak gagal naik kelas karena anak bodoh. Ucapan orangtua kepada anak ”sekarang tidak naik kelas, mau jadi apa besok?”. Hati-hati dengan ucapan ini, karena kegagalan di satu bidang belum tentu akan menyebabkan kegagalan di semua bidang kehidupan. Coba diingat berapa banyak orang yang gagal di akademik tetapi berhasil dalam kehidupan. Berapa banyak orang yang tidak sekolah tapi mampu memiliki karir yang baik. Berapa banyak orang yang tidak naik kelas di SMA, SMP, SD, bahkan tidak naik dari TK A ke TK B ternyata berhasil dalam menempuh pendidikan selanjutnya atau kehidupan.

Di Indonesia, bersekolah ataupun prestasi yang tinggi di akademik tidak dapat menjamin kesuksesan karir seseorang. Bersekolah untuk menuntut ilmu, bersekolah bukan jaminan mendapatkan pekerjaan yang baik. Tugas-tugas yang menjadi tanggungjawab anak mulai kecil adalah tugas belajar di bidang akademik. Namun anak-anak juga memiliki tugas sesuai dengan tahapan perkembangan psikologisnya misalnya kemampuan menyesuaikan diri, percaya kepada orang lain yang seharusnya dapat dipercaya, menjalin relasi yang saling menguntungkan dengan orang lain, dan beberapa tugas kehidupan yang lain. Dengan tidak naik kelas, apakah tugas kehidupan yang lain juga harus atau pasti gagal?

Jawabnya tidak. Maka jangan hanya melabel anak secara negatif ketika tidak naik kelas. Penyebab tidak naik kelas pasti terdapat peran anak juga, orangtua dan harus dicari solusinya. Bukan terus melabel sebagai anak yang bodoh karena akan merusak konsep diri anak dan menjadi dasar perilaku negatif. Semoga tulisan ini memberikan manfaat bagi pembaca.