Bisnis Beras Organik ‘Eco Organic’ fadjar July 28, 2012

Bisnis Beras Organik ‘Eco Organic’

Suka Berdagang sejak Sekolah Dasar

Rabu, 4 Juli 2012 13:08 WIB | Editor: Tri Dayaning Reviati | Reporter : Marta Nurfaidah

Bahan makanan organik tengah disukai banyak orang karena bermanfaat untuk kesehatan. Usaha di bidang ini pun semakin dilirik orang. Jemmy Tanaya, 26, menekuninya bukan sekadar karena uang. Namun, ingin para petani lebih sejahtera kondisinya.

Uang bisa dicari asal ada niat dan kerja keras. Itulah yang terbersit di benak Jemmy kecil. Sejak di sekolah dasar, dia sudah berdagang menjual apapun yang memungkinkan untuk mendatangkan pendapatan.

”Dulu biasa menjual isi pensil dan kertas file. Lalu, sewaktu SMA saya berjualan mainan laser yang bentuk sinarnya bervariasi itu,” ungkap Jemmy saat ditemui di outlet Eco Organic di Pakuwon Trade Center lantai LG B1, Selasa (3/7/2012).

Keluarga Jemmy merupakan pedagang pertama yang memasarkan mainan laser tersebut di Surabaya. Kemudian saat kuliah di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), Jemmy berjualan tanaman sansevieria yang bagus untuk menyerap polusi udara. Dari sana, dia tertarik belajar tentang dekorasi taman (lanskap) selama enam bulan.

”Uang pendapatan dari kecil itu dititipkan ke ibu agar tidak mudah habis. Saya jarang memintanya karena pasti ditanya macam-macam,” ujar lelaki yang ramah ini.

Tabungan tersebut jumlahnya bertambah terus setiap tahun. Sampai berada di angka ratusan juta rupiah, Jemmy memanfaatkannya sebagai modal awal usaha Eco Organic bersama tiga teman lainnya.

Perkenalan Jemmy dengan petani dan padi dimulai ketika bergabung dengan sebuah organisasi pemuda di Surabaya. Konsep bertani secara organik dikembangkan pada 2002. Pada 2006, hasilnya dijual tanpa melalui bendera sebuah perusahaan. Petani ini mengerjakan lahan pertanian padi jenis IR 4 di Mojokerto, Solo, dan Boyolali.

Memasuki 2009, Jemmy dan teman-temannya ingin memiliki perusahaan. Maka, mereka mempelajari tanaman organik secara serius. ”Sebelum besar seperti sekarang, semua proses dikerjakan sendiri di selepan,” kata Jemmy. Mulai dari mengangkut beras, membersihkannya, mengemas, sampai memasarkan ke konsumen dengan kemasan plastik biasa.

Kini, Jemmy yang didapuk menjadi Direktur CV Eco Organic ini telah berhasil mengelola perusahaan dengan puluhan agen distributor. Sebaran produknya sudah mencapai Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Kediri, Balikpapan, Banjarmasin, dan Batulicin.

Seorang agen rata-rata membeli ratusan kilogram beras organik putih dan merah dari Eco Organic. Harga jual di masing-masing daerah pasti berbeda. Di area Surabaya, beras putih berkisar di harga Rp 55.000, dan Rp 40.000 lebih untuk beras merah.

”Saya tidak memasarkan langsung, tetapi melalui agen-agen distributor,” kata anak bungsu dari empat bersaudara ini. Tujuannya supaya persebaran produk beras organiknya ini meluas dan semakin banyak orang mengonsumsi bahan makanan organik.

”Indonesia itu negara paling berbahaya hasil pertanian dan perkebunannya yang tidak organik,” tegas Jemmy.

Diakuinya bahwa bisnis beras organiknya ini berbau sosial. Untuk menunjang tujuan utamanya itu, dalam perjanjian kerjasama dengan petani tidak disebut adanya penjualan ekspor. Pernah ada orang Prancis menawarinya ekspor beras organik ke negara asalnya dengan harga mahal, tetapi ditolak oleh Jemmy.

Laba yang diperoleh tidak sekadar masuk ke keuangan perusahaan. Berapa persennya disumbangkan untuk donasi LBH Lentera, organisasi hukum mahasiswa dan alumni Fakultas Hukum Ubaya.

Perhatikan Logo Organik di Kemasan Beras

Perawatan yang rumit membuat harga beras organik lebih mahal dari beras biasa. Untuk membersihkan hama dan rumput liar, dibutuhkan 10 orang per hektar lahan. Ini belum cukup, logo Organik Indonesia juga harus diperoleh untuk menjamin produk adalah 100 persen makanan organik.

Jika satu hektar lahan pertanian biasa cukup dikerjakan satu hingga dua orang saja, tidak demikian dengan lahan tanaman organik. Setidaknya diperlukan tujuh hingga 10 orang untuk menyiangi rumput liar dan membersihkan hama tanaman.

”Tidak ada penggunaan pestisida sama sekali. Supaya tidak tercemar semprotan pestisida, lahannya juga terpisah jauh dari pertanian biasa,” jelas Jemmy Tanaya, 26, Direktur CV Eco Organic ketika ditemui di Pakuwon Trade Center lantai LG B1, Selasa (3/72012).

Proses pembersihan beras di selepan juga tidak menggunakan obat pemutih. Hasilnya juga diuji di laboratorium yang bekerjasama dengan Sucofindo. Logo yang tertera di kemasan juga tidak asal tempel.

”Butuh dua tahun untuk memperolehnya. Kami mendapat sertifikat dan logo Organik Indonesia dari Lembaga Sertifikasi Pangan Organik, LeSOS,” papar alumnus Fakultas Hukum Universitas Surabaya ini.

Petugas dari LeSOS mendatangi lahan pertanian yang dikelola Jemmy dan teman-temannya itu setiap bulan atau tiga bulan sekali. Mulai dari proses pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, pemupukan, penyemprotan pestisida organik, panen, pengeringan, penggilingan, hingga pengemasan.

Sistem pengairan ini juga sangat diperhatikan. Sumber air yang diperbolehkan berasal dari sungai atau air hujan. ”Air sungai tidak boleh tercemar maka perlu dicek berulang kali oleh petugas LeSOS. Petani biasanya membuat tanggul atau sawah tadah hujan,” terang Jemmy.

Setahun pertama, usahanya ini masih merugi. Sebab, susah juga mengelola tanaman organik dan petani sebagian besar bersikap ’nrimo’. Sehingga, permintaan pasar kadang tidak bisa dipenuhi secara langsung oleh Eco Organic. Rata-rata setelah dua minggu panen, stok langsung habis, jadi beras selalu dalam kondisi fresh.

Lahan yang semula hanya 10 hektar berkembang menjadi lebih dari 20 hektar. Dulu kuota produk berkisar tiga hingga lima ton per bulan. Sekarang naik menjadi 20 hingga 30 hektar per bulan tergantung kondisi panen.

Bagi petani, dengan adanya usaha pertanian organik ini kesejahteraan menjadi lebih baik. ”Petani ini sebagian besar memiliki lahan pertanian seluas 3.000 meter persegi. Nah, mereka memanfaatkannya dengan menanam sesuatu yang bernilai ekonomis,” tutur Jemmy.

Para petani ini pun menyadari bahwa pestisida yang disemprotkan ke tanaman itu beracun memicu penyakit kanker pada manusia. Petani yang tidak memperhatikan penggunaan alat pelindung diri juga terancam kesehatannya.

Dengan menanam beras organik, mereka menjadi senang karena tanah dan tanaman tetap sehat. Serta mempunyai modal untuk bertanam memakai polybag. ”Di luar negeri membeli sebotol pestisida harus ada izin dari lembaga pertanian. Termasuk jadwal kapan menyemprotnya dan berapa luas lahannya,” kata Jemmy.

Berbeda dengan Indonesia, di sini pembelian herbasida, fungisida, dan pestisida dijual secara bebas. Malah ada yang membisniskannya secara multi level marketing. Jemmy yang di awal usaha tidak mendapat dukungan orangtuanya ini masih memiliki impian lain.

”Saya ingin ekspansi ke susu organik. Susu kedelai yang tidak organik itu berperan memicu penyakit kanker payudara bagi perempuan,” ucapnya. Pandangan mata Jemmy penuh semangat. Ide baru muncul dengan tujuan yang sama yaitu membuat orang Indonesia lebih sehat di masa mendatang.

Penulis : Marta Nurfaidah
Editor : Tri Dayaning Reviati

Sumber: https://surabaya.tribunnews.com