Cinta Pendidikan ala Pasangan Martin Suryana – Suhartati: Selesaikan Gelar S-1 sampai S-3 Bersama-sama Selalu Cum Laude fadjar June 21, 2012

Cinta Pendidikan ala Pasangan Martin Suryana – Suhartati: Selesaikan Gelar S-1 sampai S-3 Bersama-sama Selalu Cum Laude

Semangat pasangan Martin Suryana dan Suhartati dalam menimba ilmu boleh diacungi jempol. Bagaimana tidak, di tengah kesibukannya, mereka berhasil meraih gelar doktor. Yang spesial, gelar itu diraih secara bersamaan dan hasilnya pun sangat memuaskan. Cum laude.

PANJI DWI ANGGARA

CIUM penuh kasih langsung didaratkan Suhartati kepada suaminya, Martin Suryana. Pria berkacamata tersebut dinyatakan lulus dalam ujian terbuka disertasi di ruang Aula Pancasila lantai 3 Gedung A Fakultas Hukum Unair kemarin (20/6).

Senyum bahagia seolah tidak lepas dari raut wajah mereka. Bagaimana tidak, hanya berselang sehari sebelum Martin melakukan ujian, sang istri lebih dulu dinyatakan lulus program doktoral dari tempat yang sama. Yakni, Fakultas Hukum Unair.

Tak ayal, kesuksesan mereka menambah panjang daftar gelar masing-masing. Yakni, Dr Martin Suryana SH MHum dan Dr Suhartati SH MHum. ‘Tentu ini kebahagiaan yang sangat berarti bagi kami berdua. Cita-cita untuk bisa menyelesaikan program doktor secara bersama-sama akhirnya terealisasi,’ kata Martin.

Perjalanan hidup pasangan yang memiliki tahun lahir sama, 1977, tersebut memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan akademisi. Secara kebetulan, ketika menyelesaikan kuliah di strata 1, 2, dan 3, mereka melakukannya berbarengan.

Martin bercerita, gelar sarjana hukum diraihnya pada 1999. Dia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya). Di kampus itu pula benih-benih cinta mulai tumbuh dan berkembang di antara mereka.

Berkenalan pada 1995, ketika Indonesia sedang merayakan ulang tahun emas kemerdekaan, baik Martin maupun Suhartati saat diwawancarai Jawa Pos mengaku awalnya saling membenci. ‘Saya melihat dia itu seperti bukan cewek. Soalnya, tomboi sekali. Nggak mau kalah kalau diajak berdebat masalah hukum atau kasus,’ kata Martin. Pendapat senada dikatakan sang istri. ‘Kalau saya justru membenci dia juga karena beranggapan tidak mau mengalah ke perempuan,’ ucap Tati, sapaan akrab Suhartati, lantasa tertawa.

Keduanya saat masa awal kuliah atau ospek memang bergabung dalam tim debat ilmiah. Kesempatan itu yang membuat mereka sering bertemu. Namun, jangankan benih cinta. Seringnya bertemu justru membuat keduanya semakin benci.

Namun, semua berubah lima bulan kemudian. Kala itu, Tati yang sering tak menjumpai Martin dalam acara debat ilmiah merasa kehilangan. Dia mencari tahu informasi tentang pria tersebut kepada rekan-rekannya. ”Ternyata, yang saya tahu dari teman, dia sakit. Maka, saya putuskan ke kos-kosannya dengan membawa makanan dan obat-obatan,” kata perempuan yang mengangkat disertasi berjudul Alternative Remittance System Dalam Perspektif Hukum Pidana itu.

Sejak itu, baik Martin maupun Tati seolah terbuka mata hatinya. Perasaan sayang dan cinta mulai tumbuh. ‘Ternyata, dia nggak seperti yang saya kira. Perhatiannya luar biasa,’ ujar Martin yang pada saat lulus S-2 meraih predikat summa cum laude dengan nilai 3,99 seraya melirik mesra sang istri.

‘Iya, sama. Mulai pertemuan itu, saya juga merasa selama ini salah menilai dia. Apalagi, sejak pertemuan itu, kami makin intens berkomunikasi. Tapi, dengan bahasa yang beda. Tidak pakai debat seperti dulu,’ ujar Tati yang berulang tahun setiap 3 Juli.

Umumnya, jika mahasiswa berpacaran, hal itu sedikit banyak berpengaruh negatif pada studi mereka. Namun, pasangan yang sudah dikaruniai dua anak, Clifford Breva Suryana dan Clarence Amabelle Suryana, tersebut justru menjadikannya sebagai motivasi.

Saat mulai berpacaran, mereka berikrar akan menyelesaikan studi tepat waktu. Juga meraih nilai tinggi. Dari situ petualangan mereka dalam bidang akademisi dimulai.

Meski mengaku tidak terlalu rajin, pasangan yang mengikat janji suci pada 23 Februari 2002 itu memastikan tetap menjaga komitmen. Mereka meyakini, pendidikan tetaplah yang utama. Tak ayal, ketika pergi berkencan pun, masalah kuliah tidak lepas dari perbincangan mereka.

‘Kita ini sangat hobi nonton bioskop dan makan. Nah, terkadang di sela-sela kegiatan tersebut, kalau ada hal yang berkaitan dengan kuliah, kita langsung antusias membahasnya. Sampai-sampai lupa kalau sedang berkencan,’ kenang Martin yang kini berprofesi sebagai advokat dan dosen, lantas terkekeh.

Rupanya, keinginan mereka untuk lulus bersamaan terwujud. Disaksikan seluruh keluarga besar, mereka diwisuda dan dinyatakan lulus S-1. Keduanya berpredikat cum laude. Bedanya, untuk tahap S-1, Tati unggul tipis dalam hal nilai.

Namun, keunggulan itu tidak bertahan lama. Sebab, selepas S-1, pasangan yang sama-sama mencintai Indonesian food tersebut memutuskan untuk melanjutkan jenjang pendidikan ke magister hukum di kampus yang sama. Saat itu, giliran Martin yang unggul. Pria kelahiran 14 April 1977 tersebut berhasil meraih gelar summa cum laude. Sementara itu, sang istri harus berpuas diri dengan gelar cum laude.

Tuntas menyelesaikan S-2, baik Martin maupun Tati mulai fokus membangun karir. Martin sibuk dengan tugasnya sebagai pengacara. Tati asyik dengan dunianya sebagai dosen di almamaternya.

Namun, dasar kutu buku dan pencinta pendidikan, keinginan mereka untuk kuliah tetap besar. Hingga akhirnya, pada Maret 2010, keduanya memutuskan untuk mendaftarkan diri dalam program doktoral di Fakultas Hukum Unair.

Tati lebih banyak menyoroti masalah lembaga keuangan dalam disertasinya. Sang suami, Martin, mengangkat judul dan isu yang terkesan lebih berat. Yakni, Transplantasi Organ dan atau Jaringan Tubuh Manusia dalam Perspektif Hukum Pidana.

Masa dua tahun tiga bulan cukup bagi keduanya untuk meraih gelar doktor. Selama masa pendidikan itu, kekompakan pasangan tersebut terlihat jelas. Keduanya saling support dalam berbagai hal.

‘Misalnya, kalau saya lagi ke toko buku dan melihat ada buku tentang transplantasi, saya langsung menghubungi dia. Begitu juga ketika dia dapat informasi tentang kasus keuangan yang sesuai dengan bidang saya, dia langsung menghubungi saya,’ jelas Tati.

Bahkan, sering keduanya melakukan studi kasus ke luar kota untuk melakukan penelitian. Biasanya, dalam kegiatan tersebut, mereka tidak mengajak buah hati. Kegiatan seperti itu secara otomatis membuat hubungan keduanya semakin dekat.

Ketika ditanya apakah tidak sekalian berbulan madu dengan pergi berduaan? Tati hanya tersipu. Martin menjawabnya dengan diplomatis. ‘Saya sih mengikuti pepatah saja. Sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui,’ ungkap pria humoris tersebut.

Kini, keinginan dan cita-cita mereka sudah terwujud. Semua tahap pendidikan tinggi sudah mereka lewati dengan jangka waktu yang sama serta hasil yang memuaskan. ‘Tentu sangat bersyukur. Karena tidak mudah meraih ini semua. Apalagi saat sidang terbuka, yang menjadi penyanggah kami sosok-sosok hebat. Termasuk, Pak Muladi, mantan menteri kehakiman,’ ucapnya penuh syukur.

Ke depan, mereka sepakat akan lebih mendarmabaktikan kemampuannya dalam kehidupan bermasyarakat. ”Tanggung jawab moral kami sangat besar. Dan, kami tidak mau menyia-nyiakan itu. Satu hal lagi, dengan keberhasilan ini, setidaknya kami bisa menjadi contoh bagi anak-anak. Sehingga, mereka bisa lebih rajin,’ tegas Martin. (*/c6/nda)

Sumber: Jawa Pos, 21 Juni 2012