Buah Hati Mulai Membantah fadjar May 11, 2012

Buah Hati Mulai Membantah

Tak Selalu Bentuk Perlawanan

Dulu si kecil selalu menurut apa kata bunda. Tetapi, ketika makin besar, dia mulai sering membantah dan menolak untuk melakukan perintah orang tua. Bunda khawatir, umur makin bertambah, sikapnya makin menjadi-jadi. Bagaimana menghadapinya?

SEBAIKNYA, bunda jangan terburu-buru negative thinking jika si kecil berani membantah perkataan bunda, apalagi sampai tersulut emosi dan marah kepada anak. Lihat dulu seperti apa kondisinya. Beri si kecil kesempatan untuk mengutarakan maksudnya. Misalnya, si kecil tidak mau ketika disuruh tidur siang, mengerjakan PR, atau membereskan mainannya. ‘Aku nggak mau tidur!’ atau ‘Aku tambah malas kalau bunda nyuruh aku ngerjain PR,’ atau ‘Ngapain harus diberesin? Nanti aku mau main lagi,’ celoteh si anak.

Ketika sedang jengkel, mungkin, bunda akan memarahi dan memaksa anak melakukan apa yang bunda mau. ‘Padahal, sebenarnya, jangan langsung marah. Dengarkan apa keinginan anak. Jika alasannya masuk akal, harus diterima,’ ujar Monique Elizabeth Sukamto SPsi Msi, psikolog klinis.

Monique menjelaskan bahwa seorang psikoanalis, Erik Erikson, mengemukakan teori tentang perkembangan psikososial dalam bukunya. Mulai usia dua tahun, anak berada pada fase otonomi versus rasa malu dan keraguan. Pada masa itu, mereka sedang melatih eksistensi dan menyingkirkan hal-hal yang tidak mereka sukai.

‘Terlepas dari karakter anak, ada yang kalem dan penurut. Ada juga yang bertipikal suka protes. Ketika membantah orang tua, belum tentu dia ingin melawan. Bisa jadi, dia sedang ingin mengompromikan keinginannya. Orang tua, hendaknya, juga bisa memberikan toleransi,’ papar dosen fakultas psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) itu.

Menurut Monique, hal tersebut juga bisa memiliki arti positif. Artinya, anak mampu berpikir, mengenali, dan mengutarakan keinginannya. Yang terpenting, orang tua harus tahu kapan saatnya berkompromi dengan anak dan kapan harus bersikap tegas.Dia mencontohkan anak yang ingin menonton pertandingan bola pada dini hari. Sudah dilarang, si anak bersikeras menonton karena itu merupakan pertandingan klub favoritnya.

‘Lihat sikonnya. Kalau pagi dia sekolah, sangat wajar jika orang tua melarang. Tetapi, jika esoknya libur, tidak apa-apa diizinkan. Dengarkan kebutuhan anak yang ingin melakukan hal kesukaannya,’ papar ibu dua putra tersebut.

Jika orang tua terlalu menekan anak dan tidak bisa menerima argumen anak, dikhawatirkan timbul efek buruk. ‘Sering di-cut bisa mematikan daya kritis anak. Lalu, anak menjadi takut karena merasa bahwa pendapatnya memalukan. Misalnya, ketika berada di sekolah, dia menjadi anak yang takut untuk menyampaikan pendapatnya,’ jelas Monique.

Dampak jangka panjang yang ditakutkan adalah timbulnya reaksi yang lebih keras. ‘Anak akan memberontak. Atau, ketika di rumah terpaksa menurut, anak melampiaskannya secara berlebihan ketika berada di luar rumah,’ terang Monique.

Meski demikian, disiplin tetap sangatlah penting. Ketika keinginannya dipenuhi, anak juga harus bersedia untuk melakukan perintah orang tua. Si kecil harus dilatih untuk menyampaikan argumennya dengan sopan. Jangan sampai anak berkata keras, apalagi membentak orang tua. ‘Kalau sampai anak membentak orang tua, lalu orang tuanya diam saja, itu adalah sikap yang salah. Sikap tersebut buruk bagi perkembangan karakter si anak,’ tutur Monique.

Sebab, hal itu bisa berlanjut dalam sosialisasinya. Dia bisa saja melakukan hal yang sama terhadap guru atau orang-orang di sekitarnya. ‘Si kecil perlu tahu sikap mana yang pantas dilakukan kepada orang tua dan mana yang tidak boleh,’ katanya. (nor/c12/ayi)

Membantah Boleh, asal…

Ketika menolak keinginan bunda, anak bisa menyampaikan pendapatnya dengan sopan.

Jika alasan anak bisa diterima, terapkan win-win solution. Misal, tentukan batas waktu untuk dia.

Bunda bertindak sebagai evaluator. Jika si kecil tidak mematuhi kesepakatan, ada konsekuensinya. Pada ujungnya, dia tetap harus menuruti apa kata bunda.

Sumber: Jawa Pos, 11 Mei 2012