Prof Dr Yusti Probowati Psi, Guru Besar Psikologi Forensik Pertama di Indonesia: Menyatu dengan Anak-Anak Lapas fadjar November 7, 2011

Prof Dr Yusti Probowati Psi, Guru Besar Psikologi Forensik Pertama di Indonesia: Menyatu dengan Anak-Anak Lapas

Bidang ilmu yang ditekuninya tergolong tidak lazim, yaitu psikologi hukum atau psikologi forensik. Profesi unik tersebut membuat Yusti Probowati terbiasa keluar masuk lapas serta membantu kerja polisi.

PROFESOR Dr Yusti Probowati Psi mulai rutin berkunjung ke lembaga Kemasyarakatan (lapas) anak sejak 2003. Dia prihatin melihat lapas tidak menyediakan psikolog untuk proses rehabilitasi para penghuninya. Menurut Yusti, idealnya, proses rehabilitasi itu meliputi asesmen dan intervensi dalam bentuk konseling dan terapi yang melibatkan psikolog, psikiater, serta relawan. ‘ Mereka merupakan generasi penerus bangsa. Kita ikut bertanggung jawab dalam membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih baik,’ tuturnya.

Beberapa lapas anak yang sering dikunjungi, antara lain, Lapas Anak Blitar, Tangera ng, Kutoarjo, serta Karangasem (Bali). Awalnya, banyak pihak yang mem pertanyakan pilihan Yusti tersebut. Berbekal niat tulus, Yusti terus maju. Salah satu contohnya, dia rela bolak-balik Surabaya Blitar yang ditempuh empat jam. ‘Sering saya berangkat pagi sekali. Begitu sampai di Blitar, saya bertemu anak-anak lapas dua atau tiga jam, lalu balik ke Surabaya,’ papar perempuan yang kini menjabat dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya tersebut.

Yusti begitu dekat dengan anak-anak penghuni lapas itu. Bahkan, dia menyayangi mereka seperti anak sendiri. ‘Anak-anak yang masuk lapas tersebut 80 persen
berasal dari keluarga broken home. Ada yang bapaknya pergi entah ke mana atau ibunya jadi TKW. Tidak ada yang mengarahkan. Sebenarnya, yang mereka butuhkan adalah kasih sayang dan bimbingan. Saya memposisikan diri sebagai ibu,’ paparnya.

Dari seringnya berinteraksi dengan anak-anak lapas, dia paham betul kondisi yang mereka hadapi sehari-hari. ‘Banyak yang curhat bahwa mereka depresi. Bayangkan saja, mereka harus berada di dalam sel sempit bersama sekitar tujuh sampai sebelas anak. Mereka tidur dan BAB di situ. Banyak pengaruh buruk di lapas yang membuat mereka semakin buruk,’ terang Yusti.

Pada 2003 hingga 2011, jumlah penghuni Lapas Anak Blitar meningkat dari 80 menjadi 150 anak, bahkan pernah mencapai 200 anak. Itu menjadi bukti bahwa harus ada pembinaan khusus supaya jumlahnya tidak meningkat.

Ketika keluar dari lapaspun, banyak diantara anak-anak tersebut yang tidak memiliki tujuan. Tidak ada yang menjemput, tidak tahu harus pulang ke mana. Mereka tidak punya aktivitas yang dilakukan setelah keluar dari lapas. Dampaknya, mereka rentan kembali melakukan kriminalitas.

Berangkat dari hal itu, Yusti berupaya membuat selter atau rumah singgah untuk anak-anak eks penghuni lapas. Bersama rekannya dari Swiss, Margret Rueffler PhD, dan beberapa rekan dosen di Ubaya, dia membuat proyek selter untuk anak-anak lapas. Berlokasi di Jombang, proyek itu didanai Kindernothilfe, sebuah non governmental organization (NGO) dari Jerman.

Sekarang proyek yang ketiga. Yang pertama adalah menyusun DVD dan manual pendampingan bagi petugas lapas anak agar pendampingan berdasar pendekatan psikologi. Yang kedua adalah pelatihan untuk petugas lapas anak dan yang ketiga selter. ‘Di selter anak-anak diajari berbagai keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, seperti komputer, kerajinan tangan, atau bengkel. Tiga hingga maksimal enam bulan mereka berada di selter. Setelah siap, mereka bisa mandiri, bekerja, dan hidup bermasyarakat,’ terang Yusti.

Dalam menjalankan proyek tersebut, Yusti menggandeng berbagai pihak. Di antaranya adalah balai pemasyarakatan (bapas), lembaga perlindungan anak (LPA),
lapas anak, serta dinas sosial (dinsos). Salah satu contohnya, dengan diwadahi dinsos, sebuah bengkel di Jombang bersedia menerima anak-anak eks penghuni lapas untuk belajar dan magang.

Yusti berharap, upaya-upaya reha bilitasi psikologi dan pembinaan yang dilakukan selama ini bisa di ikuti banyak pihak, khususnya pemerintah. ‘Setidaknya, menjadi pilot project untuk pembinaan yang lebih menyeluruh,’ ungkapnya. (nor/c12/dos)

PR Bikin Buku Psikologi Forensik

DI luar kesibukan sebagai dekan Fakultas Psikologi Ubaya serta jabatannya sebagai ketua umum Asosiasi Psikologi Forensik Indo nesia (Apsifor) dan Himpunan Psikologi (Himpsi) Jatim, Yusti sering diminta mengisi kuliah tamu di berbagai universitas dan instansi. Selain di Surabaya, dia sering diundang di kota-kota lain. Dia juga rutin mengunjungi lapas anak dan selter binaannya di Jombang. Perempuan aktif tersebut seperti memiliki energi yang tidak pernah habis.

Keluarga paham betul dengan aktivitas Yusti yang padat. ‘Alhamdulillah, suami dan anak-anak tidak protes meski sering ditinggal. Kami selalu berkomunikasi dan menjaga kualitas hubungan. Ada satu waktu khusus untuk keluarga. Biasanya, saya mengikuti jadwal libur anak-anak. Misalnya, umrah sekeluarga atau berlibur ke Singapura dan Lombok,’ tutur istri Ir M. Pujiono Santoso MM tersebut.

Putri pertamanya, Annisa Rizkiayu Leofianti, mengambil kuliah S-1 psikologi di kampus yang sama dengan dirinya, UGM. Putri kedua, Adistyana Damaranti, masih duduk di kelas XI SMA Muhammadiyah 2. Awalnya, putri sulungnya tidak ingin mengambil jurusan yang sama dengan sang ibu. ‘Takut dibayang-bayangi
saya, katanya. Saya beri pengertian bahwa ilmu psikologi luas dan dia tidak harus berada di jalur forensik yang sama seperti saya,’ ujarnya.

Ketika berada di rumah, Yusti mengisi waktu luang dengan membaca dan beres-beres rumah. Termasuk berkebun. ‘Kalau memasak, saya nggak hobi. Saya lebih memilih beresin rumah atau berkebun. Saya paling suka tanaman suplir,’ paparnya.

Perempuan kelahiran Probolinggo tersebut juga suka menonton film yang disiarkan TV kabel. Terutama film-film tentang hukum atau kriminal. ”Saya suka nonton CSI, Criminal Minds, Lie to Me, dan Silence of The Lambs. Kadang, film bisa jadi referensi pemecahan kasus,” tutur Yusti.

Yusti masih memiliki PR khusus, yaitu menulis buku lagi tentang psikologi forensik. Niat membuat buku lagi, sebenarnya, lama terpikir. Namun, hal tersebut belum terealisasi. ”Saya dikejar-kejar untuk bikin buku tentang psikologi forensik yang dapat digunakan sebagai buku ajar di psikologi. Sekarang saya mengurangi kuliah tamu supaya punya waktu untuk menulis buku itu,” katanya. (nor/c12/dos)

Berawal dari Diskusi Meja Makan

KETERTARIKAN Yusti terhadap bidang psikologi forensik berawal ketika menempuh S-2 psikologi di UGM, Jogjakarta. Ketika menempuh kuliah S-1 di universitas yang sama, perempuan kelahiran 22 September 1964 tersebut mengambil jurusan psikologi industri dan organisasi (PIO).

”Ketika S-2, saya berpikir sesuatu yang beda. Saya tertarik mengamati proses kognitif di balik putusan hakim. Akhirnya, saya mengambil topik psikologi hukum,” terang Yusti. Menurut Yusti, keadilan sangat dekat dengan hati nurani. Psikologi berperan banyak di ranah hukum tersebut. Apalagi, jika ditelusuri, dia akrab dengan bidang hukum dan peradilan karena orang tuanya berprofesi sebagai hakim.

Nama Yusti diambil dari kata justice atau keadilan. Ketika kecil, orang tuanya menerapkan diskusi meja makan. Sambil makan bersama, ayah dan ibunya sering membicarakan kasus-kasus yang tengah ditangani. ”Waktu kecil, saya terbiasa dengar hal tentang hukum pidana dan pasal-pasal. Itu terbawa sampai dewasa. Secara tidak langsung, saya akrab dengan dunia hukum,” tutur ibu dua putri tersebut.

Sebagai guru besar psikologi forensik pertama di Indonesia, Yusti sering dilibatkan dalam pengusutan kasus-kasus di kepolisian serta memberikan pelatihan di KPK, kepolisian, dan Akpol.

”Umumnya, saya dimintai bantuan polisi untuk memeriksa kondisi psikologis tersangka guna menentukan motif, apakah pelaku memiliki karakteristik psikologis yang sesuai dengan kriminalitas yang didakwakan, dan menjadi saksi ahli di peradilan,” papar perempuan murah senyum tersebut.

Salah satu yang paling berkesan bagi Yusti adalah kasus Ryan, jagal Jombang, 2008. Kasus itu menjadi besar karena diberitakan hampir di seluruh media. Dia
dan tim psikologi melakukan wawancara dan observasi terhadap pembunuh sebelas korban tersebut dan keluarganya.

Menurut Yusti, kepribadian Ryan memang sangat khas dan memungkinkan melakukan pembunuhan sebelas orang. ”Saya ngobrol langsung dengan dia dari jarak de kat. Yang bikin dia terlihat mengerikan adalah pengawasan yang ketat dari polisi. Tangan dan kakinya diborgol. Lantas, saya minta polisi melepas borgol ditangan dan kakinya,” paparnya.

Saat Yusti mewawancarai Ryan, polisi berjaga ketat di dekatnya. Ketika itu, Ryan memegang pensil karena diminta menggambar sesuatu. ”Mata polisi siaga terus ngawasin pensilnya. Mereka takut kalau pensil itu dipakai aneh-aneh sama Ryan,” ungkapnya. (nor/c12/dos)

Dikutip dari: Jawa Pos, 07 Nov 2011