Listyo Yuwanto
Fakultas Psikologi Universitas Surabaya
Fobia diidentikkan dengan perilaku menghindari objek atau situasi fobik (avoidance behavior). Perilaku menghindar dapat dilakukan bila memungkinkan untuk menghindar, namun bila tidak mampu menghindari objek atau situasi fobik apa yang terjadi pada penderita fobia?. Pada umumnya penderita yang tidak mampu menghindari situasi atau objek fobik akan menampilkan perilaku kecemasan yang berlebihan. Temuan penulis hasil penelitian pada tiga penderita fobia gelap (nyctophobia) menunjukkan tidak semua penderia fobia langsung menampilkan perilaku kecemasan berlebihan, mereka menampilkan suatu perilaku yang sifatnya tidak menghindar dan bertahan beberapa lama saat berhadapan dengan objek atau situasi fobik (Yuwanto, 2007). Perilaku ini sifatnya individual antara penderita fobia yang satu dengan yang lain bisa berbeda. Perilaku ini disebut dengan local coping response (Yuwanto, 2010). Perilaku ini berfungsi membantu penderita nyctophobia untuk tetap bisa bertahan berada di tempat gelap yang mereka takutkan. Temuan penulis hasil penelitian pada penderita fobia darah (blood phobia) juga menunjukkan adanya perilaku local coping response saat berhadapan dengan darah sebagai object phobic (Yuwanto Santoso, 2008).
Perilaku ini disebut dengan local coping response karena bentuk perilaku yang ditampilkan antara penderita fobia yang satu dengan yang lain bisa berbeda-beda, namun fungsinya perilaku ini membantu penderita fobia untuk tetap bisa bertahan di situasi yang mereka takutkan. Dengan perilaku local coping penderita mendapatkan manfaat seperti adanya pemikiran dan perasaan lebih aman dan lebih tenang secara sementara waktu saat berhadapan dengan situasi atau objek yang mengancam bagi penderita fobia.
Beberapa contoh local coping response ini antara lain :
-
-
Membelalakkan mata sambil mengecek apa yang ada di tempat gelap itu, memastikan situasi di tempat itu aman bagi dirinya, mencari pegangan orang yang dikenal dan setelah menemukan akan memegangnya. Setelah membelalakkan mata, mengecek di tempat gelap itu aman, dan memegang orang yang dikenalnya, penderita memiliki pikiran dan perasaan lebih aman, sehingga bisa tetap berada di tempat gelap itu meskipun dengan terpaksa sampai lampu menyala.
-
Mengajak berbicara orang lain dan mencari pegangan orang yang dikenal. Penderita memiliki pemikiran bahwa dirinya tidak sendirian dan merasa lebih aman setelah mengajak berbicara orang lain atau memegang orang yang dikenalnya, sehingga bisa tetap berada di tempat gelap itu meskipun hanya sekitar lima menitan, karena setelah itu akan berusaha mencari tempat terang atau mencari lampu.
-
Memejamkan mata dan membayangkan situasi terang dalam pikiran. Setelah memejamkan mata dan membayangkan dalam pikiran diri berada di tempat terang, penderita memiliki pikiran dirinya berada di tempat terang. Pikiran bahwa tidak bisa mengontrol dirinya tetap ada, tetapi dirinya merasa lebih lega meskipun tetap takut, tidak nyaman, dan bisa tetap bertahan di tempat gelap itu.
-
Membayangkan makanan yang membuatnya senang saat berhadapan dengan darah misalnya saat melihat darah, mendengar kata darah. Dengan membayangkan makanan tersebut penderita tidak lagi terus memikirkan tentang darah yang tidak menyenangkan bagi penderita.
-
Perilaku local coping dapat dikatakan termasuk neurotic paradox yang merupakan ciri dari neurotic style. Neurotic paradox adalah tindakan yang bertentangan dengan proses penyembuhan yang sesungguhnya. Bentuk neurotic paradox pada penderita fobia umumnya berupa perilaku menghindari objek atau situasi fobik (Wiramihardja, 2005). Namun menurut penulis perilaku local coping response ini dapat menjadi salah satu modal penting untuk proses terapi yang mengarah pada perubahan pemikiran dan perilaku yang lebih adaptif bagi penderita fobia. Perilaku local coping response ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana menguji pemikiran terhadap realita. Saat berhadapan dengan situasi atau objek yang mengancam bagi penderita fobia, penderita fobia dapat menampilkan perilaku local coping response yang dikombinasikan dengan strategi pengujian pemikiran secara realita. Bukti pengujian realita dapat menjadi sarana rekonstruksi pemikiran penderita fobia sehingga diharapkan perilakunya menjadi lebih adaptif (Yuwanto, 2011).
Referensi :
Wiramihardja, S.A. (2005). Pengantar psikologi abnormal. Bandung : Refika Aditama.
Yuwanto, L. (2010). Nyctophobia. Surabaya : Putra Media Nusantara.
Yuwanto, L. (2007). Asesmen dinamika gangguan : Studi penyandang nyctophobia. Anima Indonesian Psychological Journal, 22, (3), 251-262.
Yuwanto, L., Santoso, C. (2008). Multiple baseline design across materials-bahaviors-examiners : Penerapan untuk kasus blood phobia. Anima Indonesian Psychological Journal, 23, (3), 248-255.
Yuwanto, L. (2011). Asesmen dinamika gangguan dan upaya intervensi : Studi tentang nyctophobia. Hasil penelitian disampaikan pada Psychology Village 2 Harmotion : It’s our nation, it’s our concern. Universitas Pelita Harapan Jakarta, 4 April 2011.