Life In, Cara Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) Kenali Kehidupan fadjar April 9, 2011

Life In, Cara Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) Kenali Kehidupan

Pagi Buta hingga Petang Bersihkan Toilet Umum

Kehidupan orang sangat beragam. Para mahasiswa Jurusan Psikologi Universitas Surabaya (Ubaya) berusaha mengenalinya melalui program Life In. Bagaimana cerita mereka?

Oleh: JUNEKA SUBAIHUL MUFID


SORE, 31 Desember 2010, Wendyatin Margaretta menumpang taksi menuju Terminal Kenjeran. Begitu sampai di sana, dia bergegas mencari penjaga kamar mandi di terminal tersebut. Wendy tidak hendak buang hajat, tetapi ingin berkenalan dengan si tukang ponten itu. ”Namanya Pak Tikno, usianya 50 tahun,” cerita mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Surabaya tersebut. Dari pembicaraan itu pula, dia mengetahui Kumaira, istri Tikno, yang berusia 40 tahun.

Dia memiliki warung yang digunakan untuk membantu mencukupi ekonomi keluarga. Selama tiga hari ke depan, keluarga tersebut beserta aktivitas hariannya menjadi tempat belajar bagi Wendy. Termasuk, ponten yang dijaga dan dibersihkan Tikno.

Hari berikutnya, Wendy berangkat pukul 04.30 dari rumahnya. Kali ini dia naik angkot untuk sampai ke terminal. Pada pukul 05.00 dia sampai terminal dan menghampiri Tikno. ”Biar saya saja yang membersihkan, Pak,” ujar Windy sambil menuju ponten. Dia langsung menyikat kerak-kerak pada lantai kamar mandi. Hari pertama pada 2011 itu dihabiskan Wendy bersama keluarga penjaga ponten kamar mandi di Terminal Kenjeran hingga pukul 17.00. Itulah sekelumit cerita Windy tentang kegiatannya pada awal tahun lalu. Dia mengatakan tidak pernah membayangkan akan menjadi pembersih water closet (WC) terminal. Namun, Windy merasa mendapatkan banyak pengalaman dari aktivitas tak biasanya itu. ”Saya belajar dari mereka,” ucapnya.

Lain ceritanya dengan Rahadi Pratama. Dari hasil undian, Hedi harus menyelami kehidupan waria Padahal, sebelum undian, mahasiswa angkatan 2003 tersebut berharap bertemu sosok selain waria. ”Eh, malah dapat waria. Soalnya aku takut ama waria. Sungguh amat takut,” ujarnya.

Meski begitu, dia tetap mencobanya. Suatu malam sekitar pukul 23.00, dia menjelajahi Jalan Irian Barat di kawasan Gubeng untuk mendapatkan buruannya itu. Pada malam pertama tersebut, dia tak mendapatkan banyak informasi. ”Ternyata mereka keluar jam satu,” imbuhnya. Pada hari berikutnya, Hedi yang kini mengambil profesi psikolog di Ubaya itu mencoba mendekat. ”Awalnya saya ini dikira customer.

Tetapi, saya jelaskan bahwa saya cuma mau kenalan. Dia bilang namanya Bela, umurnya sudah 30 tahun saat itu,” tutur Hedi. Selama tiga hari dia menyelami kehidupan Bela. Hedi pun mengetahui latar belakang Bela terjun di dunia malam. ”Alasan ekomomi dia bilang. Bela harus menghidupi keluarga dan seorang adiknya yang sedang bersekolah.

Jadi, saat mengikuti waria itu ke salon, eh ternyata dia merasa nyaman,” ujarnya. Pada malam ketiga, Bela mengajak Hadi untuk berkeliling mencari lem lantaran hak sepatunya patah. Mereka berboncengan. Tetapi, Bela berbuat nakal. Dia menggerayangi selangkangan Hedi. Kontan, Hedi menampik tangan Bela.
”Ayolah Mas, gratis,” kata Hedi, menirukan Bela. ”Wah gimana ini, gumam saya. Akhirnya saya pakai alasan sudah punya pacar. Dia pun mengerti,” ujarnya lantas tersenyum.

Meski begitu, sosok Bela memberikan banyak pengalaman bagi Hedi. Dia menemukan sesuatu yang lain dari aktivitasnya selama dua minggu itu. ”Mereka sebenarnya sama saja dengan kita. Orang normal juga. Yang beda adalah pekerjaan mereka saja,” jelas Hedi.

Dua mahasiswa Fakultas Psikologi Ubaya tersebut sedang mengikuti program yang diberi nama Life In. Pada program itu, para mahasiswa diminta untuk terjun ke dunia orang lain yang selama ini tidak mereka kenal. Di antaranya, keseharian waria, pekerja seks komersial (PSK), pemulung, tukang bersih WC terminal, dan kernet bus.

Program yang mulai dirintis pada 2000 tersebut dimaksudkan agar para mahasiswa belajar dari orang lain. Caranya, hidup bersama satu golongan masyarakat tertentu selama kurang lebih dua minggu. ”Selain waria dan PSK (pekerja seks komersial), mereka diminta untuk ikut mengerjakan

aktivitas orang tersebut,” jelas Wakil Dekan I Fakultas Psikologi Andrian Pramadi. Mula-mula program itu diilhami dari pengalaman mahasiswi Fakultas Psikologi Ubaya yang mengambil program psikolog. Pada awal perkuliahan, si mahasiswi tersebut diminta untuk mengobservasi kuli bangunan. Akan tetapi, dia benar-benar tidak mau melakukan hal tersebut. Padahal, tugas itu menjadi salah satu persyaratan untuk menempuh mata kuliah. ”Dia pun mundur,” ujar Andrian.

Belakangan diketahui, si mahasiswi tersebut tidak suka dengan orang dengan wajah berkulit hitam. Sebab, dia sering digoda lelaki berperawakan seperti itu. ”Padahal, IPK-nya tinggi. Lebih dari 3,5,” imbuhnya.

Melihat fenomena tersebut, Andrian pun merasa ada yang perlu dibenahi dari kepribadian para mahasiswa itu. ”Kalau kita takut sama orang, yang salah siapa? Kan bukan orang yang ditakuti. Tetapi, kita sendiri,” ujarnya.

Berkat pengalaman tersebut, dia bersama dosen lain di bidang psikologi klinis pun merancang program Life In selama dua minggu. Program itu bertujuan, para mahasiswa bisa berelasi dengan orang yang belum pernah mereka kenal. Selain itu, para mahasiswa yang dididik untuk bisa menyelesaikan permasalahan orang lain tersebut semestinya bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.

Pilihan aktivitas orang itu disesuaikan dengan kondisi para mahasiswa. Sebab, menurut Andrian, rata-rata mahsiswa Ubaya berasal dari kalangan menengah. ”Ada yang tidak pernah naik angkot,” imbuhnya datar.

Dalam kurun waktu dua minggu, peserta Life In dibebaskan untuk memilih hari. Fokus utamanya, mereka bisa mendapatkan pelajaran hidup dari tiap orang yang mereka ikuti. ”Dalam dua minggu itu, tiap Jumat ada pertemuan untuk membahas perkembangannya,” jelas Andrian.

Sejak awal peserta Life In diberi tahu bahwa kegiatan tersebut tidak akan dinilai. Ya, tidak dinilai. Yang tidak mengikuti juga tidak apa-apa. Bahkan, kalaupun mereka mendapatkan bagian untuk bertemu waria, misalnya, dan tidak dilakukan juga tidak masalah. Tidak ada punishment dari dosen. ”Tidak ikut pun tidak akan berpengaruh pada nilai mereka. Lha wong ini tidak ada penilaian secara akademis,” tuturnya.

Meski demikian, dijelaskan pula bahwa mereka akan merasa rugi bila tidak mengikuti program itu. Adrian menjelaskan, bila telah melewati program tersebut, kepribadian para mahasiswa akan lebih matang. ”Itu dirasakan mahasiswa dengan cara yang berbeda,” ujarnya.

Setelah dua minggu, para mahasiswa itu dikumpulkan untuk menceritakan hal-hal yang dialami selama beraktivitas dengan orang yang diikuti. Ada cerita lucu hingga kepedihan yang muncul dalam presentasi tersebut. Saat teman mereka berada di depan untuk bercerita, yang lain mendengarkan tanpa menghakimi. Sebagai rekam jejak selama aktivitas itu, mereka juga diminta untuk menuliskannya dalam laporan. ”Bukan seperti makalah. Hanya cerita,” katanya.

Pada forum tersebut, akan terlihat nilai-nilai kemanusiaan yang diperoleh setiap peserta Life In dari orang yang diikuti. Pernah suatu ketika dalam presentasi itu, ada seorang mahasiswa yang mendapatkan data lengkap tentang seorang waria. Dari pemaparan si mahasiswa tersebut, Andrian bisa melihat bahwa si mahasiswa sedang memanipulasi data. ”Sejak dulu belum pernah ada yang selengkap ini ceritanya. Sampai ada data demografi juga,” ungkap Adrian kepada mahasiswa itu.

Dia menegaskan, mereka yang berbohong pun tidak apa-apa. Tidak akan disuruh untuk mengulangi pekerjaan itu untuk kali kedua. ”Tetapi, mereka mengulangi dengan sendirinya. Mereka merasa bahwa teman-temannya sudah selangkah lebih maju,” jelasnya.

Kini, selain kepada peminat psikologi klinis, Life In itu diterapkan di bidang psikologi lain. Bentuknya bermacam-macam. Di lab psikologi umum, misalnya, para mahasiswa diajak untuk ikut menikmati suasana Bali. Mereka diminta untuk bergumul dengan suatu komunitas yang menganut kepercayaan pada cinta dan
kesederhanaan. ”Pulang dari sana, saya jadi lebih bisa hemat listrik,” ujar Agus Sutejo, yang mengkuti kegiatan itu.

Pengembangan program tersebut juga merambah kepada mahasiswa di semester awal. Ada program yang bernama Exploring My Self yang berisi tentang pengenalan diri. Menginjak semester pertengahan, ada Self Help Camp yang berfungsi untuk menanggulangi kejenuhan-kejenuhan selama kuliah. ”Di semester tengah itu, banyak sekali tugas,” ujarnya.

Pada hari ketiga, Wendy masih ikut membersihkan kamar mandi di Terminal Kenjeran untuk membantu Tikno. Setelah pekerjaannya itu selesai, dia pun berpamitan
kepada keluarga tersebut. Sebab, proses Life In telah rampung. ”Saya berterima kasih sekali kepada mereka. Sampai sekarang pun saya masih sering kontak lewat Mbak (pembantu rumah tangga),” ujar Windy. (*/c7/ang)

Sumber : JawaPos 09 April 2011