Leisure Boredom Pengungsi Merapi fadjar January 4, 2011

Leisure Boredom Pengungsi Merapi

Listyo Yuwanto

Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

Meletusnya Gunung Merapi menimbulkan dampak psikologis bagi pengungsi antara lain stres, post trauma stress disorder (PTSD), depresi, dan beberapa dampak psikologis lainnya. Berikut adalah sedikit tulisan tentang gambaran kondisi psikologis pengungsi hasil observasi dan wawancara penulis selama tiga hari berada di tempat pengungsian Srumbung Magelang Jawa Tengah dan Cangkringan Yogyakarta saat erupsi Merapi.

Gambaran psikologis pengungsi tentang stress, PTSD, dan depresi sudah sering dibahas karena masyarakat awam juga dapat memahami tentang gangguan-gangguan psikologis tersebut. Namun salah satu kondisi psikologis yang juga paling banyak muncul di tempat pengungsian adalah kebosanan saat waktu luang yang sering disebut dengan leisure boredom. Kebosanan saat menunggu kapan bisa kembali ke rumah dan kapan bisa kembali bekerja menjadi salah satu masalah psikologis utama yang dialami oleh pengungsi. Kebosanan akan waktu luang ini dapat berdampak pada tekanan psikologis karena adanya energi fisik dan psikis yang tidak tersalurkan, misalnya saja mereka memiliki tenaga dan keinginan untuk bekerja atau melihat kondisi rumah namun tidak tersalurkan dan mereka harus menunggu di pengungsian tanpa aktivitas produktif bagi mereka. Maka yang seringkali terdengar dari kata-kata pengungsi adalah kata sumpek, lelah, bosan, tidak tahu harus melakukan apa. Kondisi kebosanan tersebut disertai dengan pikiran yang terus merasa khawatir, pengalaman trauma tentang bencana yang baru dialami, kehilangan anggota keluarga, kehilangan rumah, kehilangan mata pencaharian sehingga kondisi leisure boredom menjadi semakin kompleks yang tidak bisa diatasi hanya dengan melihat televisi atau sarana hiburan lain yang diberikan oleh relawan atau pemerintah.

Pembaca tentu pernah merasakan saat memiliki waktu luang namun tidak ada yang dilakukan, atau saat memiliki waktu luang melakukan hal yang tidak mampu membuat merasa senang. Kondisi inilah yang disebut dengan kebosanan saat waktu luang (leisure boredom). Leisure boredom terjadi ketika mengalami waktu luang namun tidak ada yang dilakukan atau melakukan sesuatu namun tidak mampu memuaskan secara psikologis untuk mengisi waktu luang tersebut. Umumnya pembaca memiliki batas waktu yang jelas dalam waktu luangnya jadi meskipun diisi dengan menunggu, tidak melakukan apa-apa, atau melakukan sesuatu yang tidak menyenangkanpun sifatnya masih bisa ditoleransi karena batas waktu luang tersebut jelas kapan berakhirnya. Berbeda dengan yang dialami oleh pengungsi Merapi, batas waktu luang mereka tidak pasti, berdasarkan pengalaman pengungsi saat meletus tahun 2008 lalu mereka tinggal di pengungsian dalam waktu yang pendek (tidak sampai lebih dari seminggu) sehingga mereka mengalami leisure boredom tidak terlalu lama sehingga tidak terlalu berat mengalami tekanan psikologis akibat leisure boredom.

Berikut hasil wawancara terhadap tiga pengungsi yang menyatakan kebosanan saat di pengungsian.

Ibu Y, warga Sintokan Wukirsari Cangkringan, selama dua minggu terakhir pulang ke rumah siang hari, kalau menjelang malam hari sudah harus kembali ke pengungsian karena meskipun rumah tidak rusak dan ingin membersihkan dan bekerja, masih merasa khawatir kalau ternyata Merapi meletus kembali dan selain itu yang mendorong kembali ke pengungsian adalah bila kembali ke rumah tidak ada yang bisa dimakan. Pasrah saja tinggal di pengungsian meskipun bosan tidak ada yang bisa dilakukan, jadinya mumet tidak bisa mikir.

Bapak H, warga Grogol Umbulharjo Cangkringan, merasa bosan terus tinggal di pengungsian karena belum boleh pulang, meskipun ingin pulang untuk tilik rumah.

Bapak J, warga Ngepringan Wukirsari Cangkringan, tidak bisa pulang karena rumah sudah hancur, merasa bosan di pengungsian karena tidak bisa bekerja, tapi menerima saja.

Hasil wawancara tersebut menunjukkan gejala leisure boredom seperti dikemukakan oleh Fenichel (sitat dalam Goldber, 2008) yang menjelaskan leisure boredom adalah pengalaman ketika individu memiliki dorongan untuk melakukan sesuatu namun tidak dilakukan sehingga individu berada di dalam kondisi tidak ada yang dilakukan. Kondisi leisure boredom harus diisi dengan aktivitas yang mampu memuaskan secara psikologis. Misalnya saja yang dilakukan oleh teman-teman relawan dengan cara memberdayakan pengungsi dengan terapi kerja, seperti mengumpulkan pasir yang berada di sekitar pengungsian menjadi “galangan” pasir yang siap untuk dijual kepada pengepul pasir. Contoh lain dilakukan Tim Psikolog Fakultas Psikologi UGM yang memfasilitasi sejumlah pengungsi yang kesehariannya bekerja sebagai perajin batu dari dusun Sambisari, Umbulharjo untuk mengambil batu dan perlengkapan kerja dari desanya sehingga mereka dapat bekerja kembali di tempat pengungsian. Aktivitas ini sederhana namun tujuannya membantu pengungsi beraktivitas dan beradaptasi dengan kehidupan sosial di pengungsian sehingga mengurangi tekanan psikologis akibat merasa bosan.