Entrepreneurship: Selling atau Transforming? fadjar March 26, 2010

Entrepreneurship: Selling atau Transforming?

oleh Prof. Drs.ec. Wibisono Hardjopranoto MS./Rektor Universitas Surabaya

Sejumlah Mahasiswa tampak membuka stan dan berjualan aneka produk di mal dan kampus. ‘Kami sedang praktik mata kuliah entrepreneurship,’ kata salah seorang mahasiswa.

Mereka merasa, membuka stan dan berjualan identik dengan entrepreneurship. Apakah sesederhana itu? Apakah entrepreneurship hanya sebatas berjualan dan berjualan?

Menurut Schumpeter (1911), entrepreneurship adalah terbentuknya inovasi yang diimplementasikan. Entrepreneurship adalah seorang inovator, industrial leader, organizer yang mengoordinasikan sumber daya ekonomi, Green(2005) juga menyatakan, entrepreneurship adalah transforming ideas into enterprises that generate economic, intellectual, and social value.

Artinya, ada kekeliruan memaknai entrepreneurship seperti ditunjukkan mahasiswa tadi. Entrepreneurship diartikan secara dangkal sebatas aktifitas selling.

Kita sering terjebak pola pikir, orang di level tertinggilah yang berperan sebagai entrepreneur. Padahal tiap orang dalam organisasi yang mampu berinovasi adalah entrepreneur. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi berkembangnya entrepreneur dalam kegiatan yang berbasis profesional. Entrepreneurship bahkan berkembang diberbagai kegiatan sosial, yang dikenal social entrepreneurship.

Itu sebabnya perlu diterapkan konsep pendidikan entrepreneurship yang baik dan benar. Pertama, pendidikan ini tak akan berhasil jika peserta didik tidak memiliki bakat, ketangguhan, self confidence, leadership, komitmen, kreatif, inovatif, inisiatif, kerja keras, berorientasi laba, selalu ingin menjadi lebih baik, dan berani mengambil resiko. Tanpa itu pendidikan entrepreneurship tak bakal efektif.

Kedua, entrepreneur harus dibekali knowledge dan sikap asertif. Wawasan mereka harus luas, tak hanya terbatas satu bidang. Pendeknya entrepreneur adalah generalis yang mampu menjadi spesialis.

Seorang entrepreneur harus mampu menggagas inovasi, ‘membaca,’ dan memanfaatkan peluang. Ia harus melakukan environmental organizational scanning. Jika opportunity telah ditemukan, ia harus merekayasa unit bisnis dengan merancang business plan. Selanjutnya entrepreneur melakukan pemeliharaan dan pengembangan bisnis dengan baik.

Terakhir, entrepreneur harus memiliki keberanian mengambil resiko, karena dalam tiap pengambilan keputusan outcomes tak selalu dapat dipastikan. ‘If you don’t throw the dice, you cannot pay the price.’

Bagaimana dunia pendidikan berperan dalam pembentukan karakter entrepreneur? Ubaya merancang dan mengimplementasikan pendidikan yang menyuguhkan pembelajaran entrepreneurship secara holistik.

Sebagai special type of education, pembelajaran entrepreneur di Ubaya dilaksanakan dengan desain kurikulum berbasis pengalaman (experiental learning) dengan kombinasi metode program based learning dan case-based learning yang juga menghadirkan praktisi sebagai dosen untuk membawa kasus-kasus nyata ke dalam proses pembelajaran.

Kompas: 26 Maret 2010