Yayasan PTS Tuntut Ubah UU BHP fadjar February 22, 2010

Yayasan PTS Tuntut Ubah UU BHP

Kawal Judicial Review di MK

WONOKROMO – Perguruan tinggi swasta (PTS) bertekad mengawal pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Kemarin (20/2) 170 yayasan penyelenggara PTS se-Jatim mengadakan musyawarah wilayah di Hotel Singgasana Surabaya.

Dalam pertemuan ratusan yayasan penyelenggara PTS itu dibahas, antara lain, aturan UU BHP yang sangat merugikan yayasan atau perkumpulan. PTS-PTS di daerah memprotes aturan yang merugikan mereka. ‘Hampir semua daerah berkeberatan dengan UU BHP ini,’ kata Ketua Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BPPTSI) Thomas Suyatno saat menghadiri muswil II kemarin.

Hadir dalam muswil, antara lain, perwakilan dari yayasan yang menaungi PTS-PTS di Surabaya, seperti Universitas Kristen Petra, Universitas Surabaya, Universitas Wijaya Putra, dan Universitas Wijaya Kusuma.

Menurut Thomas, judicial review tersebut merupakan kali kedua terhadap UU BHP. Salah satu pasal yang dianggap sangat merugikan adalah pasal 9 ayat 1 UU BHP yang melarang penyelenggara mendirikan satuan pendidikan baru. Jika akan mendirikan lagi, penyelanggara harus memiliki BHP baru, yaitu BHP masyarakat. ‘Ini kan aneh. BHP yang lama itu kan sudah badan hukum, kok disuruh membuat lagi,’ paparnya.

Thomas menegaskan, ketentuan itu mengakibatkan otoritas dan eksistensi yayasan yang selama ini menaungi penyelenggaraan pendidikan tereduksi. Ketentuan lain, yaitu adanya BHP penyelenggara dan BHP masyarakat, juga dianggap merugikan. Sebab, jika ada dua BHP, hampir pasti muncul konflik. ‘Kami minta pasal itu dihapus,’ ujarnya.

Kalaupun tidak dihapus, lanjut Thomas, seharusnya masih ada tambahan, yakni kecuali BHP penyelenggara yang sudah ada tidak masalah. Dia mencontohkan, banyak yayasan pendidikan yang berdiri sebelum ada Depdiknas. Misalnya, Taman Siswa sejak 1912, Muhammadiyah sejak 1911, Ma’arif/NU sejak 1922, Majelis Pendidikan Kristen sejak 1634, dan Komisi Pendidikan Katolik sejak 1630.

Yayasan-yayasan yang jauh-jauh hari sudah ada tentu dirugikan oleh aturan dalam UU BHP itu. Thomas menyatakan berencana mengadakan musyawarah nasional (munas) untuk menyikapi judicial review MK yang diputuskan pada pertengahan Maret mendatang. Munas itu diadakan akhir Maret.

Pria asal Bojonegoro itu menambahkan, sejak gugatan judicial review tersebut diajukan kepada MK, sudah tujuh kali dilakukan sidang. Di antaranya, dengar saksi ahli dan pendapat ahli. ‘Kami akan berupaya agar aturan yang merugikan itu dihapus,’ ucapnya. (lum/roz)

dikutip dari Harian Jawa Pos, 21 Pebruari 2010