Pembekalan Dosen Universitas Surabaya fadjar December 17, 2009

Pembekalan Dosen Universitas Surabaya

Keseriusan untuk menindaklanjuti kerja sama dalam pendidikan standardisasi yang terjalin dengan Badan Standardisasi Nasional ditunjukan oleh Universitas Surabaya (UBAYA). Belum genap 1 bulan Penandatangan MoU (18 Nopember 2009), UBAYA mengundang BSN untuk melakukan pembekalan kepada dosen di lingkungannya dan diselenggarakan pada hari Sabtu, 13 Desember 2009. Bukan tanpa alasan, UBAYA sangat menyadari akan pentingnya standar, bahkan A. Adji Prayitno S, Wakil Rektor Bidang Pengembangan Sumber Daya dan Keuangan, dalam sambutannya menyampaikan bahwa maju tidaknya suatu negara bisa dilihat dari maju tidaknya standar negara tersebut dan maju tidaknya standar negara dapat dilihat dari kesadaran masyarakatnya akan standar, beliau mencontohkan China dan Korea Selatan yang menjadi kekuatan ekonomi baru dunia karena salah satunya adalah concern dalam standar dan pendidikan standardisasi. Beliau juga sependapat bahwa standar adalah ”bahasa” kedua setelah uang dalam era perdagangan global. Semua hal tersebut sejalan dengan visi UBAYA, yang kini berusia 40 tahun, yaitu menjadi ”World Class University” dimana salah satu indikatornya adalah lulusan UBAYA world class juga atau mampu bersaing di internasional dan salah faktor penunjangnya adalah pemahaman dalam standar. Untuk itu, pendidikan standardisasi diperlukan. Untuk itu, sebagai langkah awal, UBAYA menyelenggarakan pembekalan kepada dosen.

Pembekalan diikuti oleh sekitar 80 dosen dan pejabat struktural di lingkungan UBAYA, diisi oleh 2 narasumber dari BSN, yaitu Ir. AK Jailani dan Drs. A. Rachman Mustar, M.Sc. dan 1 narasumber dari IPB, Ir. Wini Trilaksani, M.Sc. yang termasuk dalam anggota TIM kaji ulang kurikulum pendidikan standardisasi. Ir. AK. Jailani yang juga menjabat sebagai Kepala Bidang Diklat Standardisasi, melalui pemaparannya, Pengantar, Pengembangan dan Penerapan Standar, menyampaikan bahwa standardisasi (dalam perspektif sejarah) bukan sesuatu yang baru, tercatat bahwa manusia mengenal standar sejak zaman peradaban Mesir dan China, pada zaman Fir’aun (Pharao) para pekerja pembangunan Piramida menggunakan standar panjang yang mengacu pada panjang lengan Fir’aun. Dan ternyata, kebanyakan dari kita kurang menyadari, bahwa standar merupakan bagian dari hidup kita, yang tanpanya, hidup menjadi sulit. Pria kelahiran Tembilahan (Riau), lulusan teknik Fisika UNAS (1990) juga merupakan Tim Pembentukan BSN (1997), melalui pengalamannya diceritakan romantika perjalanan dan sejarah ”perjuangan” pembentukan BSN dan SNI, dari Dewan Standardisasi pada masa mantan presiden Habibie, masa Heirudi yang mengajak AK Jailani untuk bergabung dalam Tim tersebut.

Wini Trilaksani, dosen IPB, melalui pemaparan kurikulum, menyampaikan bahwa sekarang (2009) sudah tahun ketiga IPB mengajarkan pendidikan tentang standardisasi terutama di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dosen lulusan (S2) University of Hawai juga berbagi pengalamannya dalam mengajarkan standar dan standardisasi kepada mahasiswa, yaitu melalui praktek langung ke lapangan, melihat penerapan Standar atau SNI dan ini cukup menarik minat mahasiswa dan mempermudah pemahaman mahasiswa. Hal ini mendorong mahasiswa untuk mengenal standar, misal SNI dan tercatat di Perpustakaan BSN, Per Oktober 2009, IPB masuk dalam 10 besar perguruan tinggi dalam permintaan penggunaan standar. Wini juga menyampaikan, kurikulum pendidikan standardisasi adalah muatan minimal, bukan sesuatu yang ”saklek”, sehingga dosen yang akan mengajar bisa menyesuaikan dengan kebutuhan.

Rachman Mustar, dalam pemaparannya, Penilaian Kesesuaian dan Metrologi, menyampaikan bahwa Standardisasi, Penilaian Kesesuaian dan Metrologi adalah 3 serangkai yang tidak dapat dipisahkan, ketiganya adalah infrastruktur mutu, jika kita ingin maju melalui standar, concernlah dalam tiga serangkai ini. Standar yang dirumuskan menjadi sia-sia jika tidak diterapkan, penerapan standar membutuhan penilaian kesesuaian untuk memastikan keseuaiannya, standar dan penilaian kesesuaian membutuhkan metrologi salah satunya untuk memastikan bahwa pengukuran yang dilakukan dapat tertelusur ke Sistem SI. KAN (Komite Akreditasi Nasional) sendiri yang merupakan lembaga independen (30% pemerintah, 70% Non Pemerintah) sistem dan skema akreditasi sudah mendapat pengakuan di Asia Pasifik (melalui APLAC) dan Internasional (melalui ILAC), sehingga barang yang diuji/dikalibrasi oleh Laboratorium yang diakreditasi KAN tidak perlu diuji ulang jika akan masuk ke negara anggota. Menurut Rachman yang juga Peneliti Muda, dalam hal metrologi Indonesia patut berbangga karena salah satu standar acuan massa (peninggalan kolonial Belanda) yang merupakan turunan standar Internasional di Perancis, yaitu K-46 lebih tinggi dari Jerman K-52. Namun ”kebanggaan” ini belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemerintah dalam perdagangan.

Dosen yang mengikuti pembekalan sangat antusias mengikuti, banyak diskusi berlangsung, diantaranya, Bona (Politeknik Ubaya) mengomentari kurikulum pendidikan standardisasi yang dalam formatnya belum mengikuti perkembangan terbaru, yaitu kurikulum berbasis kompetensi (KBK), ditanggapi oleh Wini walau masih menggunakan sistem lama (Analisis Instruksional, TIU, TIK, dan SAP) namun sudah cukup membantu dan menurutnya hal ini menjadi masukan sekaligus PR bagi BSN untuk mengikuti perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Siti Zuraida (Fakultas Hukum Ubaya) mempertanyakan azas manfaat pengajaran kurikulum standardisasi bagi mahasiswa di fakultasnya, dijawab oleh AK Jailani bahwa pertanyaan ini sama dengan pertanyaan yang pernah disampaikan UNDIP, yaitu dari Jurusan Sastra, Budaya. Hal ini tantangan bagi BSN, di bidang hukum, standar dan standardisasi juga punya peran penting, terutama dalam perdagangan internasional, kontrak kerja yang menggunakan spesifikasi standar (misal kontruksi), Jailani juga menceritakan dulu (1990-an) pernah ada SNI yang diperkarakan, bahkan sampai Habibie sebagai penandatangan SNI dipanggil dalam pengadilan kasus tersbut. Contoh menarik, dalam kasus Prita, kasus tersebut disebabkan Laboratorium Medik/Klinik belum menerapkanya standar, padahal telah terbit SNI ISO 15189:2009 (adopsi ISO 15189:2007). Atau Laboratorium Forensik, mempunyai peran krusial karena mengujia alat bukti dalam suatu perkara hukum, apakah mereka telah terakreditasi? Belajarlah dari pengalaman kasus Teluk Buyat.

Walau hanya 1 hari, pembekalan ini diharapkan mampu memotivasi dosen untuk mendalami standar dan standardisasi, karena layaknya sebuah ilmu semakin didalami semakin membuat penasaran. Bagi BSN, hal ini merupakan peluang dan tantangan, meski baru bermimpi, suatu saat nanti akan banyak mahasiswa Indonesia ”melek” standar dan standardisasi. (hary)

sumber: https://www.bsn.or.id
14/12/2009