Sukses Baurkan Anak Difabel dan Non-Difabel fathulhusnan August 27, 2008

Sukses Baurkan Anak Difabel dan Non-Difabel

Membangun relasi yang inklusif antara anak-anak difabel (penyandang cacat) dan non-difabel dilakukan oleh Pusdakota Ubaya. Caranya, melalui permainan atau game inklusi. Langkah ini terbukti bisa menciptakan pemahaman tentang kebersamaan dalam perbedaan.

Pusat Pemberdayaan Masyarakat Kota (Pusdakota) Ubaya, Minggu (24/8) lalu, riuh oleh suara 20 anak-anak. Mereka rata-rata masih duduk di kelas 3-6 SD. Semua tampak ceria menikmati permainan. Temanya Berkarya dalam Perbedaan. Sesuai tema, permainan itu memang ditujukan bagi anak-anak yang mengalami kondisi berbeda.Yakni, anak yang normal dan anak yang cacat.

Kali ini, Pusdakota mengajak murid- murid dari yayasan Pendidikan Anak Buta (YPAB) Tegalsari, Surabaya. Lainnya adalah anak-anak normal dari lingkungan Kalirungkut yang selama ini dibina Pusdakota. Karena dimainkan oleh mereka yang berbeda ini, maka permainan yang digelar kemarin dinamakan game inklusi. Tanpa mempersoalkan perbedaan, Saiful dari YPAB yang mengalami kebutaan sejak lahir asyik menikmati lomba jepit balon dengan Cintya, bocah Kalirungkut yang biasa dolan ke Pusdakota. Permainan jepit balon ini menuntut mereka berdua kompak sebagai pasangan. Seperti keduanya, pasangan yang lain juga menirukan. Masing-masing menjepit sebuah balon di antara kedua kepala. Tak hanya di kepala, dua balon yang lain juga harus dikempit di ketiak. Dalam kondisi itu, mereka harus berjalan miring dengan menjaga agar balon-balon tersebut tidak jatuh atau meletus. Pasangan yang paling cepat mencapai garis finish yang akan menjadi pemenang.

Mirip kemeriahan Agustusan, lomba ini membuat para difabel dan non-difabel itu merasakan sensasi kekompakan yang harmonis. Saiful yang justru tak awas pada kondisi rute, malah bisa memandu Cintya untuk berjalan perlahan. Dari wajahnya, tampak ia menikmati keceriaan pada acara itu. Tawanya lepas diiringi teriakan Cintya yang berharap bola tak jatuh dari ketiaknya. Sejumlah game lain tak kalah serunya. Ada jelajah alam yang membagi anak-anak itu dalam empat kelompok kecil. Masing-masing kelompok lalu diberi surat tugas yang ditulis dalam huruf braille.

Tiap kelompok diminta untuk menemukan kotak rahasia yang sudah disembunyikan oleh fasilitator di lahan terbuka di halaman Pusdakota. Dari kegiatan ini, sangat terlihat dinamika kelompok yang menakjubkan. Antar-mereka dapat saling membantu dan bekerja sama karena penyandang tuna netra yang pintar membaca dalam huruf braille justru memandu yang non-difabel. Kebersaman makin kuat karena mereka juga harus membuat yel-yel kelompok yang seru.

Permainan menantang lainnya adalah dingklik oglak aglik yang menantang para difabel dan non-difabel menguji ketahanan dalam keseimbangan. Sambil bertepuk tangan dengan berdiri melingkar dengan saling membelakangi, mereka diminta menyanyikan lagu dingklik oglak aglik. Prana yang difabel sukses memimpin kawan-kawannya agar bertahan lama sehingga kelompoknya menjadi pemenang.

Ada lagi game bertanam toga yang mengajarkan anak-anak bertanam yang benar sekaligus dikenalkan nilai-nilai cinta lingkungan. Game inklusi lalu ditutup dengan refleksi para peserta.

Prana yang lebih vokal dari lainnya mengaku ia mulanya khawatir ketika harus bermain bersama dengan mereka yang normal. ‘’Biasanya kalau dengan anak-anak awas (normal, red) kami selalu menjadi bahan olok-olok. Tapi di sini beda. Teman-teman Kalirungkut menerima kami dengan baik,’’ akunya bangga. Sementara, anak-anak Kalirungkut yang diwakili oleh Cintya mengungkapkan kebahagiaan serupa. ‘’Mulanya saya bingung bagaimana saling mengerti karena kondisi kami berbeda. Tapi ternyata, mereka baik-baik dan suka membantu. Semoga persahabatan ini terus terjalin sampai nanti,’’ harapnya yang disambut tepuk tangan peserta lain.

Menurut Bahrul Fuad, koordinator tim, kegiatan ini cara yang kreatif guna membangun relasi yang inklusif antara anak-anak difabel dengan non-difabel. Selama ini, anak-anak difabel lebih sering hidup minder dalam eksklusifitas di dalam asrama dan berinteraksi hanya dengan sesama difabel. Dengan game inklusi ini, Pusdakota ingin memberi kesempatan anak-anak saling mengenal dan menghargai perbedaan. Yang non-difabel bisa mengenal bahwa di sekitarnya terdapat orang lain yang sebaya memiliki kebutuhan berbeda. Sementara yang difabel diharapkan dapat memahami bahwa perbedaan yang mereka miliki bukan menjadi alasan untuk rendah diri dan frustrasi.

oleh HETI PALESTINA YUNANI
dikutip dari Radar Surabaya, 27 Agustus 2008