Kisah Tiga Mahasiswi Amerika Meneliti Lumpur Panas Sidoarjo bersama Ubaya fathulhusnan July 9, 2008

Kisah Tiga Mahasiswi Amerika Meneliti Lumpur Panas Sidoarjo bersama Ubaya

Tak Sengaja Lewat Porong, Malah Jadi Bahan Penelitian

Sekali kenal langsung mabuk kepayang. Begitulah kisah perkenalan tiga mahasiswi dari Yale University, Amerika Serikat, dengan lumpur panas di Sidoarjo. Sejak 18 Juni 2008 lalu, mereka tiba di Sidoarjo. Untuk apa?

Tiga mahasiswi itu, Sharon Madanes, 22, serta si kembar Phoebe Clarke, 21, dan Edwina Clarke, 21, mendarat di Juanda Rabu (18/6) lalu. Kedatangan mereka bukan untuk melancong, melainkan terkait tugas akhir kuliahnya. Yakni, meneliti bencana lumpur panas di Sidoarjo dan usaha penanggulangannya.

Ketiga mahasiswi tersebut bukan teman satu fakultas. Sharon kuliah di Fakultas Kesenian, Phoebe Fakultas Ekonomi, Edwina Fakultas Politik.

Tentu, dalam memandang musibah lumpur panas, mereka akan mengambil dari sudut yang berbeda. Jika Edwina dan Phoebe menuangkan penelitiannya dalam bentuk tulisan, Sharon lebih banyak mengambil gambar. Sebab, dia menyajikan penelitiannya dalam bentuk film.

Mereka menempuh perjalanan panjang selama 30 jam dari Bandara John F. Kennedy, New York. Selama perjalanan itu, mereka terus direcoki oleh saudara kembar dan temannya tersebut.

”Saya terus bertanya tentang karakter orang Indonesia kepada Phoebe,” aku Edwina. Maklum, peristiwa ledakan bom yang terjadi beberapa tahun lalu, khususnya bom Bali, masih terbayang di benak keduanya.

Untuk menenteramkan batinnya, mereka pun bertanya ke Phoebe yang pernah tinggal di Indonesia. Setahun lalu, tepatnya Mei hingga Juni 2007, Phoebe magang di salah satu tempat usaha kecil menengah di Surabaya selama sepuluh minggu.

”Saya belajar banyak dari sana,’ ujarnya. Pengalaman itu yang kemudian membawa Phoebe datang kembali ke Indonesia. ”Saya suka Surabaya, saya memang berencana kembali lagi ke Indonesia, hingga akhirnya terwujud juga,’ tuturnya.

Phoebe mengaku tak sengaja melihat tanggul lumpur di pinggir jalan Porong. Ketika itu, dia hendak pergi ke Malang bersama teman-teman magangnya. ”Saya penasaran, ada apa di balik tanggul itu,’ kata gadis yang suka makan tempe itu.

”Kami tertarik dengan persoalan yang terjadi di Sidoarjo,’ ucap Phoebe dalam bahasa Indonesia dengan logat asing.

Sekembali ke Amerika, dia terus mengikuti informasi tentang lumpur Sidoarjo lewat online media Indonesia di kampusnya. Salah satunya Jawa Pos. ”Sedikit banyak, kami sudah mengetahui dari berita yang ditampilkan di internet,” katanya.

Usahanya menggali data untuk bahan penelitian akan mereka lakukan selama enam minggu di Sidoarjo. Selama di Surabaya, mereka tinggal di salah satu hotel di Surabaya.

Penginapan dan jadwal kegiatan telah disusun Universitas Surabaya (Ubaya) selaku pelaksana program pertukaran pelajar mahasiswa asing itu.

Dua belas hari mereka lalui dengan menemui warga dan instansi terkait dengan kondisi penanggulangan dampak sosial dan ekonomi bencana lumpur. ”Saya sudah menemui pengungsi dan pejabat di Sidoarjo,’ kata Sharon.

Beberapa kali dia menemui warga yang masih mengungsi di Pasar Baru Porong dan di tenda Besuki. ”Saya ikut sedih melihat kondisi mereka,’ ujar gadis yang hobi main ski di es itu.

Sharon dkk juga berbincang-bincang dengan Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan istrinya, Emy Susanti Hendrarso, juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sidoarjo Arly Fauzi. ”Kami ingin tahu bagaimana kebijakan yang diambil pemerintah di Sidoarjo,’ kata Edwina.

Mereka juga berkunjung ke permukiman baru bagi korban lumpur, Perumahan Kahuripan Nirwana Villages (KNV). ”Saya suka, bangunannya sederhana, tapi menarik. Saya ingin membeli rumah di sini, boleh?’ katanya bercanda.

Lalu, apa kesannya setelah bertemu dan berkenalan dengan orang Indonesia? ”Perasaan takut saya langsung hilang. Penduduknya ramah, saya suka,’ tutur gadis yang suka melukis itu.

Edwina menambahkan, penduduk Indonesia tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya. ”Ternyata halus dan baik,’ lanjut Wina.

Sayang, lanjutnya, dia sering kehilangan waktu dalam jadwal yang telah disusun. ”Kami sering harus menunggu karena acaranya molor. Padahal, kami datang tepat waktu,’ ujarnya.

Kata Phoebe, di Amerika, mereka terbiasa dengan kerja keras dan tidak menghargai waktu. ”Kami sangat menghargai waktu sehingga kami hampir tidak pernah terlambat,’ tuturnya. (ib)

dikutip dari Jawapos, 9 Juli 2008