Prof Dr H Sutarjadi dan Kecintaannya pada Tanaman fathulhusnan May 16, 2008

Prof Dr H Sutarjadi dan Kecintaannya pada Tanaman

Jatuh Cinta karena Sirih

Semangat Prof Dr H Sutarjadi mempelajari tanaman seolah tak bisa dibendung. Bagi kepala Pusat Informasi dan Pengembangan Obat Tradisional (PIPOT) Universitas Surabaya (Ubaya) itu, tanaman menyediakan banyak hal untuk dipelajari. Terutama khasiatnya untuk kesehatan. ‘Tanaman selalu menjadi alternatif tepat selain senyawa kimia,’ katanya.

Itulah yang menjadi alasan mengapa sampai sekarang pria kelahiran Malang tersebut tetap getol meneliti khasiat tanaman. Kecintaan itu sebenarnya ada sejak dirinya masih belia. ‘Sejak saya kecil, tanaman tak lepas dari hidup saya,’ ujar kakek tiga cucu tersebut.

Sejak kecil, bungsu di antara tujuh bersaudara itu memang selalu ketiban sampur. Sebagai anak ragil, dia harus selalu menyiapkan sirih untuk tamu yang datang ke rumahnya. ‘Sejak berusia satu tahun, bapak sudah meninggal. Jadi, tiap ada tamu yang datang ke rumah, yang nyiapin sirih ya saya,’ ungkap bapak dua anak tersebut.

Pada zaman itu, tamu memang biasa dijamu sirih. Tiap datang, sirih tak pernah tertinggal ada di meja tamu. ‘Barangkali itulah kenapa orang sering bilang sekapur sirih,’ ujar Sutarjadi.

Terbiasa menyiapkan sirih, kecintaan Sutarjadi pada tanaman mulai terpupuk sedikit demi sedikit. Apalagi, saat ayahnya meninggal, ibunya membeli tanah sebagai tempat bercocok tanam. ‘Uangnya dari uang pensiun bapak,’ katanya.

Tanah yang dibeli begitu luas. Sutarjadi pun semakin leluasa menanam tanaman yang disukai. Bahkan, pekarangan depan rumah tak luput dari tangannya. ‘Saya nanam tomat. Kalau sudah berbuah, sampe segini,’ ujarnya sambil menunjukkan genggaman tangannya.

Mulai SMA, kecintaan bertanam semakin menjadi. Mantan dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga itu pun mulai belajar menanam jeruk, jambu, dan buah-buahan lainnya. ‘Kalau sudah berbuah, teman-teman seneng semua. Bisa makan sama-sama,’ jelasnya.

Saat itu, kecintaan tersebut hanya sebatas bercocok tanam. Keinginan untuk menelitinya sebagai tanaman obat belum muncul. Pada periode 1948-1949, mantan ketua Perhimpunan Peneliti Bahan Obat Alami (Perhipba) itu hendak masuk Angkatan Laut. Hampir saja diangkat menjadi tentara, Sutarjadi menderita malaria. ‘Mungkin itu karena ibu tidak mengizinkan,’ ungkapnya.

Bukan hanya itu, beberapa saat setelah sembuh dari malaria, guru besar fakultas farmasi tersebut mengalami penyakit lagi. Kali ini, dia malah harus terbaring di rumah sakit selama tiga bulan. ‘Saat itulah saya penasaran. Saya ingin belajar tentang obat-obatan,’ tegasnya.

Rasa penasaran terhadap obat-obatan dan kecintaan pada tanaman pun bertemu ketika dirinya kuliah di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada pada 1953. Selain obat-obatan dari senyawa kimia, Sutarjadi mulai menekuni penelitian tanaman sebagai obat. ‘Kita ini kaya, tapi nggak bisa memanfaatkan,’ katanya. (aga/dos)

dikutip dari harian Jawapos, 16 Mei 2008

”Buang” Buku ke PIPOT

KOLEKSI buku Prof Sutarjadi pernah sedemikian banyak. Sehingga rumahnya tak lagi sanggup menampung. ‘Karena itu, buku tersebut saya buang ke pipot,’ ujar Sutarjadi.

Buku-buku berharga itu dibuang ke kakus? Bukan. Pipot yang dimaksud Sutarjadi adalah PIPOT alias Pusat Informasi dan Pengembangan Obat Tradisional, Fakultas Farmasi, Universitas Surabaya (Ubaya).

Kegemaran mengoleksi buku itu dimulai pada 1953, saat Sutarjadi masih kuliah. Ketika itu, kegemarannya pada tanaman obat sedang memuncak. Seluruh buku yang berbicara tentang tanaman langsung dia embat.

‘Saya beli buku-buku itu dari uang pensiun ibu saya. Lihat ini,’ kata Sutarjadi sembari menunjukkan buku berjudul Leerboek der Organische Chemie. Buku berbahasa Belanda itu ditulis dr J.P. Wibaut dan diterbitkan JB Wolters, Groningen, Belanda. ‘Ini buku tentang kimia organik,’ ujarnya.

Dia kemudian mengambil lagi salah satu buku di rak. Judulnya Leerboek der Anorganische Chemie. Buku tulisan dr E.H. Buchner dan dr E.H. Wiebenga itu pun berbahasa Belanda. ‘Yang ini kimia anorganik,’ kata Sutarjadi.

Sutarjadi memang berkepentingan terhadap berbagai jenis buku dan referensi. ‘Kalau nggak gitu, ilmu saya tidak bisa berkembang,’ ungkapnya kemarin.

Semakin lama, koleksi bukunya semakin banyak. Rak dan lemari tak lagi cukup. Akibatnya, rumah Sutarjadi pun penuh sesak. ‘Istri saya sampai marah-marah,’ kata Sutarjadi. Soedartinah, istrinya, tak bisa menoleransi lagi. ‘Dibuang po’o, Pak,’ ungkap Sutarjadi menirukan istrinya.

Sutarjadi pun bingung hendak ditaruh di mana buku-buku itu. Membuangnya tentu mustahil. Sebab, buku-buku itu adalah pegangannya dalam mengajar dan penelitiannya. Akhirnya, jadilah buku-buku itu dibuang ke pipot, eh, PIPOT.

Soal bukunya yang berbahasa Belanda, apakah Sutarjadi memang jago Hollands spreken? ‘Saya ini dijajah Belanda sejak kelas enam SD, masak nggak bisa coro Londo,’ katanya, lantas terkekeh. (aga/dos)

dikutip dari harian Jawapos, 16 Mei 2008

Eman, Penelitian di Indonesia Jarang

PENELITIAN Sutarjadi tentang tanaman obat sudah tak diragukan lagi. Berapa banyak? Matanya berkerut. ‘Berapa ya. Saya tidak tahu pasti. Lha ndak pernah menghitung-e,’ katanya.

Dia pun menunjukkan barisan daftar pustaka yang menjadi karya-karya tulisannya. Sejak menjadi asisten dosen farmakologi di Universitas Gadjah Mada, Sutarjadi memang getol meneliti.

‘Negara-negara maju itu malah sangat bersemangat meneliti. Bahkan, mereka selalu mengadakan pertemuan tahunan antar peneliti,’ kata Sutarjadi. ‘Saya sering diundang juga,’ imbuhnya.

Namun, kegairahan melakukan penelitian itu tak dia dapatkan di Indonesia. Padahal, keanekaragaman tumbuhan di Indonesia tak perlu dipertanyakan lagi. ‘Kita itu negara kaya. Macam-macam tumbuhan dapat diperoleh dengan mudah,’ katanya.

Sebagai kepala Pusat Informasi dan Pengembangan Obat Tradisional (PIPOT), sudah tak terhitung upaya Sutarjadi menularkan semangat meneliti. ‘Tapi, ya itu. Kebanyakan, penelitian hanya dilakukan untuk kenaikan pangkat. Eman, ya,’ katanya. (aga/dos)

dikutip dari harian Jawapos, 16 Mei 2008.