Hesti Armiwulan dan Misinya sebagai Anggota Komnas HAM fathulhusnan July 1, 2007

Hesti Armiwulan dan Misinya sebagai Anggota Komnas HAM

Saya Sudah Biasa Menghadapi Teror
Menjadi satu-satunya figur perempuan dalam keanggotaan Komnas Ham tak membuat Hesti Armiwulan merasa terbebani. Dia justru mendapat tantangan untuk meluaskan pengabdiannya dalam upaya penegakan Ham yang sudah digelutinya lebih dari 10 tahun di Surabaya.

Terpilih menjadi anggota Komnas Ham yang baru tentu harus berkantor di Jakarta, mulai kapan?

Saat ini masih bisa bolak-balik Surabaya-Jakarta. Sebab, masa kerja keanggotaan komisi terpilih masih dimulai per 1 September nanti. Masa bakti keanggotaan yang lama baru rampung pada 31 Agustus. Jadi sisa waktu ini benar-benar saya manfaatkan untuk merampungkan tugas-tugas di Surabaya baik sebagai dosen (di Universitas Surabaya) ataupun menjadi peneliti.

Berarti Anda nanti harus siap menata hati jarang bertemu anak-anak dan para mahasiswa?

Rasanya seperti sudah diatur. Pada Agustus nanti, anak pertama saya juga memulai studi kedokteran di Amerika. Anak kedua yang masih SMA juga sangat memahami tugas ibunya. Dia sangat hobi berorganisasi. Jadi, dia paham betul dengan tuntutan orang yang bekerja di bidang yang digeluti ibunya. Yang jelas, saya masih bisa menyempatkan waktu bertemu mereka. Jarak Jakarta-Surabaya saat ini sudah tidak jauh lagi.

Kalau soal mengajar, memang sudah ada surat izin dari rektor, yang merestui saya kuliah lagi di program doktor ilmu hukum di Universitas Indonesia. Kebetulan saya memang dibebaskan dari kegiatan belajar-mengajar. Meski tidak diprogram tiap semester, tetap ada mata kuliah tertentu yang tetap tak bisa saya tinggalkan. Sebab kampus masih mempercayakan untuk mengampu mata kuliah Hak Asasi Manusia dan Hukum Tata Negara.

Bagaimana Anda bisa terpilih menjadi anggota Komnas Ham yang, kebetulan satu-satunya perempuan?

Sebelumnya saya banyak berkegiatan di Pusham Ubaya. Dulu, pada 1995, saya ikut menggagas bareng-bareng dengan Prof Suwoto (alm.) dan Pak Martono, dua guru saya. Saat kerusuhan Mei 1998, bersama teman-teman saya mendirikan Gema Sukma, yang mengurus persoalan kesetaraan gender. Lembaga itu menjadi embrio Kelompok Perempuan Pro Demokrasi (KPPD) Samitra Abhaya. Kemudian, spesifikasi saya terus ke persoalan perempuan.

Saat komisi membuka pendaftaran anggota, saya memang mendaftar dan mengirim lamaran. Saya seperti terpanggil untuk masuk ke komisi itu. Setelah bekerja di lingkup Jawa Timur, hati saya ingin meluaskan pengabdian ke ruang yang lebih besar. Muaranya ya di Komnas Ham.

Pada awalnya ada 170 pelamar. Kemudian seleksi administrasi memilih 70 orang. Beberapa di antaranya dari Surabaya. Misalnya, Bambang Budiono dari Pusham Unair; D.C. Marbun, hakim Pengadilan Tinggi Jatim; serta Syafrudin Ngulma Simeulue, mantan ketua Walhi Jatim, yang saat ini banyak beraktivitas di Jakarta. Dari 70 itu disaring lagi menjadi 43 orang. Kemudian Setelah disaring-saring lagi terpilihlah 11 orang anggota Komnas Ham, termasuk saya yang kebetulan satu-satunya perempuan. Bagi saya, kepercayaan itu merupakan tantangan. Saya yakin bisa bertahan dan berjuang, karena sebagai perempuan saya sadar hidup di tengah-tengah kehidupan yang sangat patriarkhi.

Apa visi yang Anda usung ketika melamar?

Saya membawa amanat Undang-undang No 39 tahun 1999 tentang Ham. Ada empat fungsi penegakan yang harus dilakukan secara berkelanjutan. Yakni penelitian atau pengkajian, pendidikan, pemantauan, dan mediasi. Anggota komisi harus mumpuni menjalankan fungsi ini. Tanpa itu rasanya timpang. Penegakan Ham juga jadi setengah hati dan tidak tuntas. Benang merahnya menjalankan fungsi-fungsi itu juga sangat terkait dengan pembudayaan hak asasi manusia.

Sebenarnya sejak komisi berdiri 1993, saya yakin telah banyak hasil kajian atau temuan-temuan komisi. Ini yang perlu dipublikasikan kepada masyarakat, selanjutnya baru menentukan skala prioritas yang dibutuhkan masyarakat dan dapat mempengaruhi kebijakan nasional.

Ada lagi yang juga penting, yakni terkait pendidikan Ham. Orang gembar-gembor soal Ham tapi tidak tahu esensinya. Persoalan implementasi Ham sangat terkait dengan pemahaman orang terhadap hak paling mendasar itu secara benar. Maksudnya, bila kita berbicara hak, tidak hanya terkait apa yang seharusnya dimiliki, tetapi substansinya ada tanggung jawab dalam menggunakan hak dan menghormatinya. Persoalan itu juga sulit dijawab tanpa orang tersebut sadar hak. Tetapi pada porsi yang berlebihan orang akan menjadi egois dan menang sendiri. Meski begitu, hak juga harus berimbang dengan kewajiban sebagai manusia. Tanpa itu, jadinya tak berdaya. Istilah tepatnya nerimo.

Sebagai akademisi, Anda lebih banyak berkutat pada wacana, sementara praktiknya kurang. Bagaimana menjelaskannya?

Meski menjadi dosen, banyak ujian yang sudah saya hadapi dalam persoalan Ham. Tak melulu berkutat di ruang kuliah, saya juga terbiasa bergerak melakukan pendampingan dalam banyak kasus. Soal kesetaraan gender, soal penghinaan etnis, dan lain-lain. Semua pernah saya lakukan.

Bagaimana Anda menghadapi tugas berat sebagai anggota Komnas Ham nanti?

Selama saya berdiri dalam posisi yang benar, mengapa harus takut. Maju jalan saja. Komisi ini lembaga negara yang posisinya kuat dan bekerja untuk semua golongan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Pernah menangani kasus yang melelahkan dan menghabiskan energi?

Ada beberapa. Semua terjadi di Surabaya. Yang pertama, pendampingan perempuan korban kekerasan suami. Saat digugat cerai di pengadilan agama, si istri menang. Suaminya tidak terima dan banding. Dia sampai mengucapkan sumpah serapah dan akan terus mengejar istrinya. Si istri akhirnya pulang ke Jakarta. Tapi, suaminya tetap ingin bininya teraniaya. Maka, si perempuan lalu dilaporkan ke polisi dengan sangkaan penggelapan harta. Polisi pun sampai ‘termakan’. Si istri dan ibunya lalu ditahan. Saat itulah saya harus pontang-panting meyakinkan aparat bahwa ibu dan anak itu bukan penjahat. Akhirnya, setelah negosiasi sana-sini secara non-litigasi, mereka dibebaskan.

Kasus kedua, peristiwa yang melibatkan Bingki Irawan, ketua tinggi Majelis Konghucu. Dia dituduh menyebarkan informasi yang tidak benar. Saya harus mendampingi Pak Bingki berjam-jam di kantor polisi. Saya juga mendapat teror lewat surat. Isinya mereka mempertanyakan mengapa sebagai muslim saya bersedia membela orang non-muslim.

Pengalaman-pengalaman itu membuat saya jadi terbiasa menghadapi teror dan tekanan.

Saat ramai pembahasan RUU APP (anti pornografi dan pornoaksi) Anda juga gencar menolaknya. Alasan Anda?

Soal ini saya juga mendapat sorotan banyak pihak. Mereka bilang saya berjilbab tapi kok anti-RUU APP. Terkait ini, sebenarnya KUHP dan UU Pers sudah cukup mengatur. Larangan-larangan di sana sudah menjangkau apa yang dimaksud dalam RUU itu. Substansi RUU APP itu justru meniadakan keberagaman di Indonesia. RUU itu membatasi orang berekspresi dengan kebudayaannya. Seharusnya pemikiran anti-pornografi itu tidak bisa digebyah uyah.

Meskipun kebebasan berekspresi menjadi prinsip hak asasi, apa Anda tidak risih melihat perempuan berjoget dengan busana minim dan seronok?

Globalisasi memang membikin kita tidak bisa menutup mata akan terjadinya hal-hal seperti itu. Persoalan itu memang sangat sulit dibatasi, tugas kita semua melakukan penguatan karakter terhadap diri sendiri sedini mungkin. Mereka punya hak menampilkan ekspresinya. Kalau tidak suka, TV matikan saja. Jangan ditonton. Toh, kalau pemahaman tersebut ada pada setiap orang, tentu ekspresi seperti itu menjadi tidak populer.

Bagaimana Anda melihat penegakan hak asasi manusia di Surabaya?

Dulu, saat reformasi 1998, tidak hanya di Surabaya saja, ada hak politik yang sangat didengungkan dan sekarang saya melihat sudah menunjukkan kemajuan. Di antaranya pemilihan presiden langsung dan pemilu yang jurdil. Sekarang yang masih menjadi persoalan adalah hak ekonomi, sosial, dan budaya. Di Surabaya, pelanggaran terhadap hak ini banyak terjadi. Misalnya, penggusuran PKL. Keberpihakan pemerintah terhadap masayarakat miskin kurang terlihat.

Baru-baru ini Surabaya juga diramaikan dengan sulitnya warga penganut aliran kepercayaan mencatatkan pernikahannya di pengadilan?

Persoalan itu sangat menarik. Melangsungkan keturunan itu termasuk hak asasi manusia. Kalau negara tidak mau mencatat, maka negara bisa disalahkan ketika dua pasangan itu dituduh melakukan perzinahan. Ini sangat bahaya. Apalagi bila pasangan itu mempunyai anak sementara pernikahan mereka belum tercatat secara resmi. Lagi-lagi negara memberi andil terkait anak yang tidak jelas statusnya itu. Ini jelas-jelas pelanggaran hak asasi manusia.

Saya lihat di rumah ada dua orang pembantu, berarti ada relasi majikan dan pekerja. Persoalan seperti ini rentan pelanggaran Ham.

Saya termasuk penggagas Raperda Pembantu Rumah Tangga di Surabaya. Substansinya adalah penghormatan hak-hak pembantu sebagai layaknya pekerja. Karena itu, saya menangung konsekuensi yang berat. Tidak mungkin saya berani menggagas aturan tapi dalam praktiknya banyak melakukan pengingkaran. Selama ini, saya tidak pernah sok majikan dan marah terhadap dua pembantu itu. Saya memberikan waktu sehari sebagai hari libur dan bebas tugas. (Anggit Satriyo Nugroho)

dikutip dari Jawapos, 1 Juli 2007