Faktor Kepastian Hukum Dan Korupsi Hambat FDI

Sejumlah kalangan menilai keengganan perusahaan Tiongkok merelokasi industrinya ke Indonesia mesti menjadi isyarat bagi pemerintah untuk segera membenahi iklim investasi agar bisa bersaing dengan negara Asean lain, terutama dalam menarik investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengemukakan beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan 33 perusahaan Tiongkok tidak memilih Indonesia sebagai tujuan relokasi adalah kesiapan tenaga kerja, infrastruktur, serta faktor kepastian hukum dan korupsi. “Artinya memang kita dianggap belum cukup cantik sebagai sasaran investasi seperti FDI,” papar dia, ketika dihubungi, Kamis (5/9).
Salah satu sebabnya, lanjut Wibisono, angka Incremental Capital-Output Ratio (ICOR) Indonesia masih tinggi. Artinya, untuk investasi di Indonesia perlu dana yang lebih besar. Saat ini, untuk menghasilkan kenaikan output atau Produk Domestik Bruto (PDB) satu persen dibutuhkan tambahan investasi sekitar 6,4 persen, padahal idealnya antara 3–4 persen.
“Beberapa penyebabnya adalah kurangnya kepastian hukum, masih banyak korupsi, kesiapan tenaga kerja, dan ketersediaan infrastruktur. Ini menyebabkan ekonomi biaya tinggi sehingga kita kalah efisien dengan negara lain,” jelas dia.
Apabila dibandingkan dengan negara Asean lain, ICOR Indonesia di level 6,4 persen termasuk paling tinggi, sehingga bisa dikatakan paling tidak efisien untuk investasi. ICOR Malaysia sebesar 4,6 persen, Filipina 3,7 persen, Thailand 4,5 persen, dan Vietnam 5,2 persen.
Dari sisi perpajakan, Indonesia juga mengenakan pajak korporasi atau Pajak Penghasilan (PPh) Badan tertinggi, yakni 25 persen. Sedangkan Singapura 15 persen, Malaysia 17 persen, Thailand 20 persen, dan Vietnam 20 persen.
“Pajak yang tinggi di Indonesia masih ditambah dengan biaya-biaya siluman dan korupsi, sehingga ongkos produksi relatif lebih mahal. Ini tentunya membuat kita tidak kompetitif,” tukas Wibisono.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengungkapkan berdasarkan informasi dari kalangan investor yang ditemui dan catatan Bank Dunia ada masalah internal dalam negeri yang menghambat investasi asing masuk ke Indonesia.
Presiden mencontohkan dua bulan lalu ada 33 perusahaan di Tiongkok yang keluar dan 23 perusahaan di antaranya memilih relokasi di Vietnam. Sedangkan 10 perusahaan sisanya pergi ke Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
“Nggak ada yang ke kita, tolong ini digarisbawahi. Ini berarti kita memiliki persoalan yang harus kita selesaikan,” kata Presiden Jokowi, Rabu (4/9).
Terjadi Kelalaian
Peneliti Indef, Bhima Yudhistira, mengemukakan kekalahan Indonesia dalam menarik relokasi manufaktur dari Tiongkok oleh Vietnam, Thailand, dan Malaysia, bahkan Kamboja mesti menyadarkan pemerintah bahwa telah terjadi kelalaian lama yang terus dibiarkan atas tata kelola ekonomi.
“Kelalaian ini membuat terus menurunnya kontribusi sektor manufaktur pada pertumbuhan ekonomi itu membuat Indonesia terputus dari rantai pasok global. Perlu usaha sangat keras, cepat, dan fundamental, untuk membenahi dan mengembalikan Indonesia sebagai kekuatan manufaktur Asia Tenggara,” tukas dia.
Bhima mengungkapkan faktor utamanya justru pada otonomi daerah yang membuat ruwet sistem perizinan investasi dan relokasi industri manufaktur sangat susah dieksekusi. “Vietnam sistem perizinan investasi lebih terintegrasi antara pusat dan daerah. Sementara di Indonesia, antara pemerintah pusat dan daerah belum klop,” papar dia.
Padahal, menurut Bhima, perizinan adalah pintu masuk investasi. Jika baru di pintu masuk saja sudah sulit, maka sulit untuk mengharapkan investasi akan dieksekusi di lapangan.
Masalah lain dan mendasar adalah insentif fiskal. Contohnya, Vietnam memiliki insentif spesifik sesuai dengan kebutuhan investasi. Di sisi lain, Indonesia memberi banyak insentif seperti tax holiday dan tax allowances, tapi tidak spesifik untuk kebutuhan investasi yang berbeda-beda. YK/SB/tgh/WP
sumber: koran-jakarta.com
Update: 25-09-2019
|
|